Sering terjadinya kerusuhan anti Cina di kota Solo dinilai Rustopo S. Kar., M.S sebagai sesuatu yang Ironis. Ironis, karena dalam realitas kultural orang-orang Cina di kota ini sesungguhnya memiliki andil penting dalam pembentukkan dan pengembangan kebudayaan Jawa. Namun, andil tersebut hampir tidak tampak. Dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting/ tidak menarik. Semua andil yang dibangun tertutupi oleh permasalahan-permasalahan yang mengerucut pada dua aspek, yakni aspek politik dan aspek ekonomi.
“Aspek kebudayaan dianggap tidak penting. Oleh karena itu ‘wajah Cina’ yang serba politis dan ekonomis tidak pernah bertemu dengan ‘wajah kebudayaan Jawa’ â€, ujar Rustopo, dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STKI) Surakarta saat menguraikan desertasi berjudul “Menjadi Jawa: Orang-Orang Cina Kebudayaan Jawa di Surakarta 1895 – 1998†pada ujian doktor hari Selasa (8/8) di ruang seminar Sekolah Pascasarjana UGM.
Promovendus dinyatakan berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu sejarah dengan predikat cumlaude sekaligus menjadi doktor ke-743 yang diluluskan UGM.
Bertindak selaku promotor Prof Dr RM Soedarsono dan ko-promotor Prof Dr Bambang Purwanto MA.
Menurut Rustopo, orang-orang Cina yang menjadi Jawa, sesungguhnya tidak sekedar mengikuti format Jawa yang sudah pakem (establish) dan adiluhung, namun mereka justru membentuk dan mengembangkan sendiri Jawa ‘baru’ dari akar-akar (tunggak-tunggak) Jawa yang kian merapuh.
Bahkan Jawa yang diciptakan orang-orang Cina di Surakarta sepertinya Jawa yang dibangkitkan kembali, serta memiliki vitalitas hidup pada zamannya.
“Jawa yang memiliki daya pikat, serta lebih menarik daripada Jawa sebelumnya. Jawa ‘baru’ ini merupakan hibrida dari unsur-unsur kebudayaan keraton, rakyat, kota, desa, tradisional, modern/ barat, yang bergesekan dengan faktor-faktor sosial, ekonomi dan politikâ€, ujar pria kelahiran Brebes, 30 Nopember 1952.
Dalam pandangan Dosen teladan tahun 1992, ketika Jawa ‘baru’ hasil hibrida ini mencapai derajat kematangannya, masyarakat pun menganggapnya sebagai Jawa yang adiluhung pula.
“Jadi konsep atau sesuatu yang disebut sebagai Jawa adiluhung itu senantiasa berubah sejalan dengan pribadi-pribadi yang kreatif (creative personalities) dan atau minoritas kreatif (creative minority) pada zamannyaâ€, tandas mahasiswa teladan tahun 1978 (Humas UGM).