Indonesia berada pada jalur api (ring of fire) yang secara geografis sangat rentan terhadap bencana alam. Salah satu permasalahan yang sering ditemui pada penanganan bencana ialah sulitnya pendistribusian logistik ke daerah terdampak bencana yang sulit dijangkau.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, dosen Fakultas Peternakan UGM, Dr. Ir. Endy Triyannanto, S.Pt., M.Eng., IPM, ASEAN Eng., mulai mengembangkan inovasi pengemasan yang bersifat tahan lama, ASUH (aman, sehat, utuh, dan halal), murah, bergizi tinggi, dan mudah didistribusikan ke daerah bencana.
“Salah satu alternatif pengemasan makanan yang dapat mengawetkan dan menjaga kualitas produk saat ini adalah pengemasan retort pouch, yaitu pengemasan plastik berteknologi militer yang memungkinkan makanan didistribusikan dengan mudah ke daerah terdampak bencana,” tutur pria yang dikenal sebagai ahli di bidang pengemasan makanan berbasis peternakan ini.
Endy menambahkan, kemasan ini cukup kuat untuk dijatuhkan dari ketinggian. Kemasan retort mampu menjaga penurunan nutrisi makanan dalam waktu cukup lama yaitu 6 bulan—1 tahun tergantung dari kualitas pengemasan dan makanan.
Retort pouch memiliki 4—5 lapisan plastik yang berfungsi melindungi makanan dari cahaya, oksigen, dan bakteri. Sampai saat ini, pengemasan retort merupakan kesempatan baru dalam bidang pengemasan makanan di Indonesia, baik untuk kebutuhan bencana maupun komersial.
“Jenis makanan yang umumnya didistribusikan ke daerah terdampak bencana adalah mi instan, biskuit, fresh food, serta makanan kaleng. Hal ini sebagai bukti bahwa penanganan kebutuhan logistik, utamanya makanan, memerlukan inovasi baru sehingga masyarakat lebih siap dalam menghadapi bencana alam,” terangnya.
Sampai saat ini, ujarnya, belum banyak dikembangkan produk olahan ternak dengan kemasan retort, dimungkinkan karena teknologi ini baru dikenal serta adanya kesulitan mendapatkan kemasan retort. Beberapa contoh makanan berbasis olahan ternak yang sedang dikembangkan dengan kemasan retort saat ini di LIPI dan Fakultas Peternakan UGM adalah rendang daging sapi, sate ambal, sate klathak, sosis kambing asap, dan ayam kalasan.
Dijelaskan oleh Endy, sampai saat ini ahli pangan di Indonesia belum bergeser kepada kebutuhan penanganan dan pengemasan makanan pada waktu bencana terjadi. Padahal, ini dapat menjadi alternatif pemecahan masalah pengemasan makanan untuk daerah terdampak bencana alam di Indonesia.
“Inovasi dalam penyimpanan, pemrosesan, serta distribusi makanan sangat menentukan perkembangan penanganan bencana di era industri 4.0. Di masa mendatang, pengemasan retort akan menjadi budaya baru pengemasan di Indonesia yang memungkinkan UMKM memiliki produk ready–to-eat yang siap didistribusikan ke mana saja, termasuk ke daerah terdampak bencana,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)