Bagi masyarakat perdesaan di Yogyakarta krisis ekonomi tahun 1997 tidak seberat krisis yang dialami di tahun 1960-an dan 1940-an. Mereka beranggapan krisis ekonomi tahun 1997 sebagai krisis orang kota karena terjerat hutang dan mimpi ekonomi yang tidak terpenuhi.
Di Yogyakarta, krisis tersebut baru dirasakan ketika gelombang pemutusan hubungan kerja dan mengembalikan mereka ke desa. Kemudian secara bersamaan, pemerintah mencabut subsidi produk pertanian, seperti pupuk dan pestisida.
“Petani merasakan kesulitan secara langsung. Bahkan kemarau 1997 menyebabkan gagal panen dan berbagai tanaman pertanian terserang hama dan penyakitâ€, ujar Drs Muhammad Baiquni MA, hari Kamis (10/8) di ruang seminar Pascasarjana UGM.
Staf pengajar Fakultas Geografi mengungkapkan hal tersebut saat mempertahankan desertasi berjudul “Pengelolaan Sumberdaya Perdesaan dan Strategi Penghidupan Rumahtangga di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Pada Masa Krisis 1998 – 2003â€.
Bertindak selaku promotor Prof Dr Dibyo Prabowo MSc dan ko-promotor Prof Dr Yeremias T. Keban MURP dan Dr Milan J. Titus.
Ujian kali ini menyatakan promovendus lulus dengan predikat sangat memuaskan dan berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu geografi, sekaligus menjadi doktor ke-744 yang diluluskan UGM.
Dari penelitian yang dilakukan Baiquni disimpulkan, bahwa perubahan strategi penghidupan diperdesaan selama lima tahun terakhir sejak krisis 1997 tidaklah terlalu besar. Namun terdapat fenomena the winner dan the looser.
“Terdapat variasi antar desa dan antar strategi rumahtangga, dengan pola penurunan jumlah rumahtangga survival dan peningkatan jumlah rumahtangga konsolidasi serta penurunan jumlah rumahtangga akumulasiâ€, tandas Wakil Kepala Pusat Studi Pariwisata UGM 2001 – 2005. (Humas UGM).