Komunikasi menjadi salah satu bagian yang penting dari program pengurangan risiko atau mitigasi bencana, terutama di daerah-daerah yang memang rawan terjadi bencana. Namun, banyak dari istilah-istilah yang berkaitan dengan kebencanaan menggunakan kosakata berbahasa asing yang sulit dimengerti oleh masyarakat awam.
Menurut Kepala Klinik Lingkungan dan Mitigasi Bencana (KLMB) Fakultas Geografi UGM, Prof. Dr. Suratman, M.Sc., perlu dibuat sebuah kamus kebencanaan dalam bahasa lokal yang lebih mudah dimengerti dan diingat.
“Komunikasi dan literasi di tingkat lokal itu mampu menyelamatkan jiwa. Maka bahasa ini perlu dikembangkan,” ujarnya, Selasa (17/12) di Siti Nurbaya Center Gedung KLMB Fakultas Geografi.
Ia menyampaikan, bencana alam memang tidak dapat dicegah, namun bencana alam tidak harus menimbulkan korban.
Untuk itu, ia mengajak para mahasiswa serta peneliti untuk dapat melakukan riset-riset terkait bencana alam di Indonesia yang luarannya tidak hanya berupa makalah atau laporan ilmiah, melainkan pada pengetahuan atau produk yang bisa diteruskan kepada masyarakat dan memberi pengaruh terhadap kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana.
“Riset itu tidak cukup hanya ilmiah, tapi hilirisasinya bisa menyelamatkan jiwa. Biar bencana ada tapi nol korban, itu semangat dari klinik ini,” ucapnya.
Hal ini ia sampaikan dalam seminar sehari yang membahas hasil riset dari tim peneliti Fakultas Geografi UGM terkait Gunung Anak Krakatau. Aktivitas gunung ini cukup banyak mendapat perhatian setelah peristiwa erupsi pada Desember 2018 lalu yang memicu tsunami di sebagian pesisir Selat Sunda.
Dosen vulkanologi UGM, Dr. Haryo Edi, menerangkan bahwa sejak kelahirannya di tahun 1930, Anak Krakatau telah mengalami erupsi lebih dari 100 kali dengan waktu istirahat sekitar 1-8 tahun dan rata-rata masa aktif selama 4 tahun.
Dalam rentang waktu tahun 2001 hingga 2018, produk yang mendominasi erupsi adalah hujan abu dengan tipikal erupsi strombolian. Peristiwa tsunami yang terjadi di tahun 2018 sendiri merupakan akibat dari peristiwa yang dinamakan flank collapse.
Meski mengagetkan banyak orang, peristiwa flank collapse menurut salah satu anggota tim peneliti, Dr. Herlan Darmawan, adalah hal yang umum terjadi, meski intensitasnya cukup jarang.
“Sebenarnya kejadian flank collapse itu sudah sangat umum, tapi jarang kejadiannya, biasanya yang terjadi awan panas, dan sebagainya,” ungkapnya.
Salah satu kejadian flank collapse yang cukup terkenal, ujarnya, terjadi di Gunung St. Helen pada tahun 1980. Dalam kasus tersebut, tanda-tanda yang muncul sebelumnya adalah aktivitas gempa yang meningkat dua bulan sebelumnya disertai keluarnya uap. (Humas UGM/Gloria)