Penyintas HIV/AIDS seringkali mendapatkan perlakukan diskriminasi tidak hanya di masyarakat namun juga oleh tenaga kesehatan yang seharusnya melayani dan mengobati mereka tanpa memandang latar belakangnya. Diskriminasi petugas kesehatan ini ditengarai akibat masih adanya stigma dan belum teredukasinya petugas kesehatan terhadap pelayanan kepada penyintas ODHA. Hal itu mengemuka dalam Diskusi Diskminasi dan Stigma ODHA di Pelayanan Kesehatan di DIY, Jumat (1/12) di Kampus FKKMK UGM.
Ragil Sukoyo dari Kelompok Relawan HIV/AIDS mengaku sering mendampingi pasien HIV/AIDS yang mendapatkan perlakuan diskriminasi tenaga medis. Bahkan saat diperiksa, petugas medis seolah enggan dan takut tertular sehingga pelayanannya tidak maksimal. “Petugas medis tidak mau memegang pasiennya hanya untuk mengecek tensi, ada kekhawatiran petugas medis dalam memeriksa pasien HIV,” ujarnya.
Tidak hanya mendapat diskriminasi, beberapa kali ia mendapatkan pasien yang justru diceramahi soal agama oleh petugas medis sementara tujuan mereka datang hanya untuk berobat. “Petugas kesehatan memang berbagai macam karakteristiknya,”katanya.
Menurutnya, diskriminasi ini tidak hanya di layanan kesehatan. Ia menganggap masyarakat juga masih menganggap kelompok waria, gay dan PSK merupakan kelompok yang berisiko terkena infeksi HIV/AIDS. “Belum mereka berisiko kena positif HIV,” imbuhnya.
Pengalaman yang sama diceritakan March Setya Kurniawan dari Yayasan Vesta Indonesia yang mendampingi pasien yang berobat ke salah satu puskesmas namun ditolak. “Petugas hanya menjawab bahwa mereka belum siap melayani pasien HIV dengan alasan belum ada ruang khusus. Sebenarnya kami tidak perlu dikhususkan dan dibedakan yang penting dilayani,” ujarnya.
Setya Kurniawan juga pernah melakukan testimoni dengan berobat langsung salah satu rumah sakit di DIY. Saat ia menyatakan ia terkena demam panas setelah minum obat HIV. Selanjutnya dari petugas administrasi hingga perawat menurutnya melakukan diskriminasi. Meski akhirnya dilayani, namun ia mendapatkan perlakukan yang baik dari dokter. “Seharusnya petugas medis sudah dapat informasi sebagaimana layanan HIV,” paparnya.
Peneliti HIV/AIDS dari FKKMK UGM, dr. Yanri Wijayanti Subrontyo, Ph.D., Sp.PD., menuturkan petugas kesehatan seharusnya tidak melakukan diskriminasi terhadap pasien yang positif terkena HIV/AIDS. Sebab, pelayanan adekuat dilakuan tanpa melihat latar belakang pasien. “Standar pelayanan kesehatan dari level direktur hingga satpam sudah ada standarnya ketika melayani pasien,” ujarnya.
Yanri mengatakan masih ada diskriminasi terhadap penderita ODHA karena masih adanya stigma negatif yang dilekatkan kepada mereka. Tidak hanya penderita yang positif terkena HIV/AIDS, imbuhnya, kelompok gay, waria dan PSK sering mendapat diskriminasi. “Stigma HIV ini cukup kuat apalagi terkungkung dengan agama, seharusnya tidak ada stigma itu jika pendekatannya kemanusiaan,” ujarnya.
Mami Vinolia Wakidjo, pengurus Keluarga Besar Waria DIY, mengatakan ia termasuk salah satu waria yang diterima tetangganya di daerah Gowongan Kota Yogyakarta. Bahkan, ia aktif dalam kegiatan PKK di tempat tinggalnya. “Saya sering diminta mengisi materi kepada ibu-ibu, saya sering menyisipkan materi tentang waria,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)