Kasus kekerasan di sekolah, keracunan, kecelakaan, kondisi gedung yang mudah roboh masih menjadi perhatian bersama para pemangku kepentingan dan pengelola pendidikan di DIY. Untuk mengurangi angka kekerasan dan kecelakaan di sekolah, Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Suratman, M.Sc., mengusulkan agar sekolah mencanangkan program sekolah ramah anak. “Inti dari sekolah ramah anak adalah bukan membuat bangunan sekolah baru. Tapi merupakan paradigma baru dalam mendidik dan mengajar peserta didik untuk menciptakan generasi baru yang tangguh tanpa kekerasan,” kata Suratman dalam siaran pers yang dikirim Senin, (23/12).
Menurutnya, sekolah ramah anak lebih menumbuhkan kepekaan guru di satuan pendidikan untuk memenuhi dan melindungi peserta didik. Sebab, kata Suratman, konsep dasar dari pendidikan berbasis budaya adalah humanis, religius, dan multikultural. “Sekolah harus pro gender dan pro anak. Karenanya kebudayaan harus dijadikan sebagai muatan isi pendidikan,” ujarnya.
Gerakan sekolah ramah anak ini sudah diluncurkan pada Sabtu lalu dengan melibatkan beberapa kepala sekolah SMA di DIY dan para pemangku kepentingan lewat deklarasi program WSD-SDGs di sekolah. Melalui deklarasi ini para pengelola sekolah di DIY diharapkan mampu menjalankan program sekolah ramah anak melalui kesediaan dam komitmen masing-masing. Selain itu, pihak sekolah juga melakukan inisiatif dari satuan pendidikan mencegah anak mendapatkan kesakitan karena keracunan makanan dan lingkungan yang tidak sehat, mencegah kecelakaan di sekolah yang disebabkan prasarana maupun bencana alam. “Kita juga berharap mampu mencegah anak menjadi perokok dan pengguna napza, menciptakan hubungan antar warga sekolah yang lebih baik, akrab, dan berkualitas,”katanya.
Program sekolah ramah anak ini akan memudahkan pemantauan kondisi anak selama anak berada di sekolah, memudahkan mencapai tujuan pendidikan, menciptakan lingkungan yang hijau dan tertata. Indikator dari keberhasilan ini didapat dari anak menjadi lebih betah di sekolah dan anak terbiasa dengan pembiasaan yang positif. “Prinsip sekolah ramah anak adalah non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup, dan perkembangan, penghormatan terhadap pandangan anak,” katanya.
Pencanangan program sekolah ramah anak di DIY ini nantinya akan mendukung visi pembangunan pendidikan DIY tahun 2025 untuk menjadi Pusat Pendidikan Berbasis Budaya Terkemuka di Asia Tenggara. Oleh karena itu, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan DIY adalah berdasarkan Sistem Pendidikan Nasional dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya bangsa. (Humas UGM/Gusti Grehenson)