Untuk menilai implementasi dan aktualisasi Pancasila dalam kehidupan penyelenggaraan negara, Pusat Studi Pancasila UGM mengembangkan Fora Pemeriksaan Regulasi.
Program ini akan menilai semua produk legislasi, baik peraturan atau hukum yang dikeluarkan oleh lembaga publik dari seluruh cabang kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif baik di pusat maupun daerah berdasarkan kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan Pancasila.
“Kita akan launching di tahun ini. Kalau MUI punya label halal, kita punya label sesuai atau tidak sesuai dengan Pancasila,” ucap Kepala PSP UGM, Agus Wahyudi, Jumat (10/1).
Melalui FPR, PSP UGM bermaksud untuk memberikan kontribusi dalam bentuk pelayanan dan alat untuk membantu agar produk legislasi, hukum dan peraturan yang muncul di seluruh tanah air sesuai dengan pengertian dasar Pancasila sebagai seperangkat nilai dan pengertian yang dipahami sebagai dasar negara, standar atau prinsip-prinsip untuk menentukan keabsahan kebijakan publik, dan hukum yang mengatur kehidupan bersama.
Terdapat 3 jenis telaah dan kriteria, yaitu exempted review yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan memiliki legitimasi kuat atau dapat diterima, bermanfaat oleh masyarakat luas, expedited review yang tidak memperkuat atau tidak menciptakan “ketidakadilan struktural” dan dehumanisasi, berisiko rendah, dan memiliki dampak protokol tidak invasif, serta full fora review.
Kriteria dari full fora review sendiri adalah bertentangan dengan Ketentuan Umum Manual FPR PSP-UGM, potensial memperkuat atau menciptakan “ketidakadilan struktural” dan dehumanisasi, dampak protokol Invasif, dan berisiko tinggi.
Sebagai pihak yang terkena dampak dari sebuah hukum atau aturan yang berlaku di Indonesia, masyarakat pun dapat terlibat dalam kegiatan atau Program FPR PSP UGM sebagai juri, tim reviewer, pengurus FPR maupun pengurus delegasi propinsi dan kabupaten sesuai dengan aturan kegiatan FPR.
Di samping itu, Agus menuturkan bahwa masyarakat dapat memberikan masukan terhadap standar yang digunakan sebagai penilaian.
“Standar ini akan ditinjau secara periodik. Jika masyarakat melihat protokol yang ada tidak bisa dipertahankan, kita akan ada perubahan,” terang Agus.
Layanan ini ia kenalkan dalam Bincang Pancasila bertema “Pancasila, Emosi & Radikalisasi Demokrasi” yang digelar di PSP UGM. Bincang Pancasila kali ini membahas implementasi serta aktualisasi Pancasila, khususnya bagaimana Pancasila diterjemahkan dalam bentuk etika dan moral serta relasi masyarakat.
Salah satu isu yang diangkat adalah terkait apa yang ia sebut sebagai uncivil civil society. Dalam narasi politik yang dominan tentang bangsa, kajian emosi menjadi menarik untuk dikembangkan sehubungan dengan upaya untuk menarik masyarakat tersebut ke dalam model demokrasi,
“Kita harus membangun cara tetapi juga membangun narasi untuk memastikan masyarakat bisa ditarik dalam desain demokratis,” ucapnya.
Ia menambahkan, ketika berbicara mengenai Pancasila sebagai dasar negara sebenarnya berbicara mengenai bagaimana mengaktualisasikan Pancasila dalam struktur dasar masyarakat. Pancasila berlaku untuk sistem ekonomi, politik, dan budaya, dan juga termasuk dalam perilaku dari para penyelenggara negara.
“Yang paling berperan sebenarnya adalah penyelenggara negara, bagaimana eksekutif, legislatif, dan yudikatif berlaku, itu menentukan Pancasila itu aktual atau tidak,” kata Agus. (Humas UGM/Gloria)