Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM menyelenggarakan Winter Course on Interprofessional Health Care pada 13-24 Januari 2020. Pada gelaran winter course keempat ini, tema yang diusung adalah kesehatan mental di era milenial.
“Problem kesehatan mental menjadi problem besar yang kita hadapi saat ini. Masalah ini perlu ditangani bukan hanya di Rumah Sakit tetapi juga dari keluarga dan komunitas,” ucap Dekan FKKMK UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., PhD., SpOG(K), Selasa (14/1).
Data Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi orang gangguan jiwa berat meningkat dari 0,15 persen menjadi 0,18 persen.
Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun ke atas juga meningkat dari 6,1 persen pada tahun 2013 menjadi 9,8 persen pada 2018. Artinya, sekitar 12 juta penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas menderita depresi.
Kemajuan teknologi digital dan perkembangan media sosial kerap disebut sebagai salah satu penyebab meningkatnya angka kasus gangguan kesehatan mental, terutama berkaitan dengan kecanduan gawai. Salah satu narasumber dari University of Sydney, Prof. Hans Pols, mengungkapkan bahwa gawai sendiri bukan sesuatu yang berbahaya jika bisa digunakan secara benar.
“Gawai bisa menjadi sesuatu yang baik. Orang yang punya social anxiety, misalnya, mereka bisa saling mendukung karena mereka memiliki ponsel. Jadi, tergantung dari bagaimana itu digunakan,” ucapnya.
Salah satu isu di kalangan generasi muda yang menjadi perhatian banyak pihak adalah tingginya tingkat bunuh diri. Secara global, WHO menyebutkan bahwa lebih dari 800 ribu orang meninggal setiap tahunnya akibat bunuh diri atau sekitar 1 orang setiap 40 detik melakukan bunuh diri. Dalam banyak kasus, bunuh diri terjadi karena seseorang mengalami depresi.
“Kasus bunuh diri 60 persen terjadi karena depresi. Tapi seringnya orang tidak merasa kalau dia mengalami depresi,” kata Ketua Departemen Psikiatri FKKMK, Dr.dr. Carla R. Marchira, Sp.KJ(K).
Ia menambahkan, di tengah beredarnya berbagai macam informasi, termasuk informasi mengenai kesehatan mental sendiri, masyarakat perlu bijaksana dalam memilah setiap informasi dan tidak mudah percaya terhadap hal-hal yang didengar.
Informasi yang tidak akurat, menurutnya, justru akan menimbulkan masalah yang lebih serius. Ia pun mendorong masyarakat untuk berkonsultasi langsung dengan psikolog atau psikiater jika merasa mengalami masalah terkait kesehatan mental.
“Kalau malu untuk pergi ke psikolog, setidaknya bisa ke konselor. Carilah informasi yang paling akurat,” kata Carla.
Hal serupa juga disampaikan oleh Prof. Dr. Firdaus Mukhtar dari Universiti Putra Malaysia. Meski demikian, jumlah psikolog atau psikiater di Indonesia diakui masih sangat terbatas. Prof. Byron Good dari Harvard Medical School mengungkapkan bahwa jumlah psikolog dan psikiater di Indonesia jauh di bawah jumlah yang dibutuhkan.
Untuk itu, menurutnya, perlu dipikirkan solusi untuk mencukupi kebutuhan tersebut, terutama di era saat ini.
“Kita perlu memikirkan bagaimana ada sistem yang bisa mengatasi semua ini,” ungkapnya. (Humas UGM/Gloria)