Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 5,1 juta keanekaragaman hayati sehingga menjadi negara megabiodiversity terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Sebagai lokasi laboratorium alam, banyak bidang yang bisa diteliti. Tidak heran banyak peneliti asing dan lembaga internasional yang tertarik melaksanakan penelitian di tanah air. Bagi peneliti atau lembaga asing yang akan melakukan penelitian seharusnya mendapatkan surat izin penelitian, namun tidak sedikit yang datang secara ilegal dengan tidak mengantongi izin melakukan biopiracy atau praktik eksploitasi sumber daya alam dan pengetahuan masyarakat. Umumnya dilakukan oleh industri farmasi dan industri makanan yang berasal dari negara maju.
Kasus sebelumnya yang pernah terjadi adalah perusahaan kosmetik asal Jepang yang sempat akan mematenkan tumbuhan dan rempah dari Indonesia, seperti kayu rapet, kemukus, tempuyung, belantas, mesoyi, pule, pulowaras dan sintok. Beruntung akhirnya upaya paten tersebut dibatalkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UGM, Tri Rusti Maydrawati, menuturkan prinsip Prior Informed Consent (PIC) protokol Nagoya dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya eksploitasi dan melindungi keanekaragaman hayati dari praktik biopiracy. Di dalam aturan PIC tersebut, kata Tri, terdapat sejumlah pengakuan terhadap keberadaan hak-hak masyarakat dan adanya upaya meminimalkan praktik biopiracy. “Prinsip PIC merupakan bentuk kedaulatan negara atas sumber daya yang dimilikinya,” kata Tri dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Hukum UGM, Kamis (30/1).
Ia menjelaskan bahwa implementasi PIC protokol Nagoya telah diakomodasi ke dalam hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan hukum lingkungan terhadap pencegahan biopiracy yang dituangkan dalam UU No 11 tahun 2013. Namun begitu, praktik biopiracy sering terjadi akibat ketidaktahuan masyarakat akan aturan PIC tersebut. “Untuk itu diperlukan adanya sosialisasi ke masyarakat adat dan komunitas lokal, perguruan tinggi dan pemerintah daerah tingkat paling bawah,” ujarnya.
Menurutnya, tidak menutup kemungkinan muncul praktik biopiracy di Indonesia oleh peneliti asing yang datang lewat kebijakan bebas visa untuk 169 negara dan mendorong kedatangan turis asing. Dampak kebijakan tersebut sedikit banyak akan mempermudah orang asing dalam mengakses sumber daya keanekaragaman hayati lokal. “Tidak jarang peneliti asing menyamar sebagai wisatawan dengan mengunakan visa turis untuk melakukan penelitian,” katanya.
Praktik biopiracy, menurutnya, cenderung dilakukan lewat kegiatan perjalanan ekowisata dan peneliti asing datang mengunjungi kawasan hutan lindung atau kawasan taman nasional. Selanjutnya, bermaksud mengambil sampel kulit kayu, batang, daun kering, bahkan sampel tanah yang masih mengandung mikroorganisme hidup. “Sampel itu kemudian dibawa ke negaranya untuk diisolasi dan diteliti untuk menciptakan sesuatu yang baru seperti obat dan produk lainnya,” paparnya.
Apabila tidak dicegah, biopiracy berimplikasi pada lingkungan dan hak kekayaan intelektual yang seharusnya dimiliki Indonesia sebagai pemilik dan penyedia sumber daya genetik serta masyarakat adat sebagai pemegang pengetahuan tradisional. Oleh karena itu, izin penelitian bagi peneliti dan lembaga asing perlu diperketat. (Humas UGM/Gusti Grehenson)