Menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi 003/PUU-IV/2006 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Putusan tersebut menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) tidak mengikat secara hukum.
Tentu saja, putusan tersebut menimbulkan kontroversi. Bahkan, Jaksa Agung menilai putusan Mahkamah Konstitusi merupakan kemenangan besar para koruptor. KPK pun sepakat, menilai keputusan MK menghambat penegakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi. Akan tetapi, beberapa pihak menilai putusan MK lebih menjamin kepastian hukum dan agar para penegak hukum lebih berhati-hati dalam menggungkap kasus korupsi.
Demikian pengantar Eddy OS Hiariej SH M Hum saat menjadi pembicara pada Diskusi Publik “Hasil Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi dengan perkara nomor : 003/PUU-IV/2006 tentang Pengujian UU nomor 31 Tahun 1999 jo UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsiâ€, Kamis, (24/8), di ruang Multimedia FH UGM.
Bagi Eddy Hiariej, terpenting adalah menelaah secara kritis dasar pertimbangan putusan tersebut, sekaligus membahas dampak putusan terhadap pemberantasan korupsi saat ini dan di masa mendatang.
Kata dia, pertimbangan Mahkamah Konstitusi berpegang pada asas legalitas yang lahir dari aliran klasik dalam hukum pidana dengan tujuan untuk melindungi kepentingan individu. Padahal, dalam hukum pidana, kejahatan yang berakibat terhadap keamanan dan kesejahteraan masyarakat merupakan wujud nyata aliran modern dalam hukum pidana yakni untuk melindungi masyarakat dan asas legalitas tidak berlaku mutlak.
Menurut Eddy Hiariej dalam membasmi korupsi, hakim sebaiknya tidak hanya berkutat pada sifat melawan hukum formal semata, namun memperhatikan sifat melawan hukum material. Hal ini, kata dia, pernah dibuktikan dengan yurisprudensi MahkamahAgung yang menggunakan sifat melawan hukum material dalam fungsi yang positif pada putusannya tanggal 15 Desember 1983. Putusan Mahkamah Agung berkaitan kasus korupsi Bank Bumi Daya secara tegas menggunakan ajaran sifat melawan hukum material dalam fungsi yang positif.
“Prioritas kredit bidang real estate pernah diberikan Direktur Bank Bumi Daya, sedangkan dirinya mengetahui bila surat edaran Bank Indonesia melarang pemberian kredit tersebut. Berdasar surat edaran BI tersebut, terdakwa hanya dikenakan sanksi administrasi, namun putusan MA secara tegas menyatakan terdakwa melanggar asas kepatutan dalam masyarakat sehingga dipidana karena melakukan korupsiâ€, ujar staf pengajar Hukum Pidana fakultas Hukum UGM mengutip Komariah Emong Sapardjaja (2002).
Diskusi yang dibuka Dekan Fakultas Hukum UGM Dr Marsudi Triatmodjo SH LLM ini, diselenggarakan Pusat kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum UGM bekerjasama Badan Penerbit Pers Mahasiswa MAHKAMAH dan Indonesian Court Monitoring. Sejumlah pembicara turut sumbang pemikiran, diantaranya Direktur Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI Dr Marwan Effendy SH, Prof Dr Andi Hamzah SH, Prof Dr Komariah Endang S SH, Syahruddin Rasul (KPK), Amir Syamsuddin SH dan Saldi Isra SH MPA, selaku moderator Totok Dwi Diantoro SH dan Denny Indrayana SH LLM Ph D (Humas UGM)