Saat ini, kawasan hutan negara seluas 120,35 juta hektar atau 62,6% dari luas daratan Indonesia mengalami kerusakan yang serius, dimana antara periode tahun 1997-2000 laju deforestasi mencapai 2,83 juta Ha/tahun. Sedangkan hutan yang terdegradasi telah mencapai 59,2 juta hektar.
Fakta ini sungguh memprihatinkan, tidak saja disebabkan pengelolaan hutan yang salah, namun karena pembukaan hutan skala besar untuk keperluan pembangunan, illegal logging, perambahan hutan dan kebakaran hutan.
Demikian dikatakan Dirjen Rehabilitasi Lahan Perhutanan Sosial Ir Darori MM membacakan sambutan Menteri Kehutanan RI MS Kaban SE MSi saat menjadi keynote Seminar Nasional “Arahan Pembentukan Unit Manajemen, Kelembagaan Kawasan kelola, Dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Dalam Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahanâ€, Selasa, (29/8), di Hotel Garuda, Yogyakarta.
“Akhir-akhir akibat pengelolaan hutan yang salah, telah berakibat pada situasi yang kurang menguntungkan, terindikasi dengan banyaknya bencana alam, banjir, tanah longsor, kekeringan, pergeseran iklim dan kerusakan lingkunganâ€, ujar Darori mengutip sambutan Menhut.
Untuk itu Menhut mengajak semua pihak guna mencari solusi pengelolaan hutan lestari yang mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Selain itu, secara spesifik perlu memikirkan kembali bagaimana cara mengatasi semakin meluasnya kawasan hutan dan lahan yang tidak produktif.
Sebelum itu, Senin, (28/8), berkaitan dengan penyelenggaraan seminar, Dekan Fakultas Kehutanan UGM Prof Dr Mohammad Naiem menjelaskan bila gerakan rehabilitasi hutan dan lahan yang dicanangkan sejak tahun 2003 dinilai masih kurang berhasil. Terbukti, kondisi di lapangan masih membutuhkan kepastian pelaksanaan program untuk dapat bergulir secara terus menerus.
“Peran masyarakat seharusnya dapat lebih di optimalkan, terutama dalam upaya menjaga produksi areal lahan yang menjadi fokus program gerakan rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia,†ujar Mohammad Naiem.
Sementara, menurut Ketua Pelaksana Seminar Dr San Afri Awang, sejak tahun 2003 gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan telah di ubah menjadi GERHAN yang disebutkan sebenarnya bukan pada upaya tingkatkan produktifitas di hutan produksi, namun lebih pada praktek bagaimana rehabilitasi kawasan yang terkena bencana lingkungan dapat dilakukan.
“Sebelum tahun 2003 semua tahu bencana terjadi di mana-mana. Itu butuh program khusus untuk proses rehabilitasi, dan tidak bisa diselesaikan dalam jangka pendek satu tahun anggaran. Harus ada program berkelanjutan untuk itu,†ujar San Afri Awang.
Kata San Afri Awang, selama ini program Gerhan dirasakan bersifat top down, kini saatnya diperlukan perubahan orientasi kebijakan yang berangkat dari kebutuhan masyarakat di sekitar lahan atau areal hutan kritis.
“Masyarakat di Blora, misalnya ternyata lebih menjaga areal hutan yang dikelola mendapatkan keuntungan 100%. Mereka berhasil mengelola hutan yang kritis dengan program ini,†ujar staf pengajar Fakultas Kehutanan UGM.
Seminar yang berlangsung selama dua hari, 29-30 Agustus ini, membahas beberapa persoalan dan kendala yang dihadapi dalam implementasi kegiatan GERHAN baik dari sisi konseptual dan kritik serta kebutuhan pendukung pelaksanaan program Gerhan untuk memberikan kemanfaatan bagi pengelolaan lahan kritis.
Sejumlah pembicara hadir dalam kegiatan ini, diantaranya Prof Dr Ir Sumardi (Fakultas Kehutanan UGM), Prof Dr Ir Dudung Darusman (Fakultas Kehutanan IPB), Dr Ir San Afri Awang (Fakultas Kehutanan UGM), Prof Dr Sunyoto Usman mA (Fakultas Isipol UGM), Suharto SH (Bupati Gunungkidul), Ir Suparno MSi (Kepala Balai Pengelolaan DAS NTB) dan Prof Dr Ir Moh Naiem (Fakultas Kehutanan UGM). (Humas UGM).