Di usianya yang ke-74, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM memiliki tantangan-tantangan baru. Sifat ilmu humaniora yang memiliki cara pandang yang tidak taken for granted terhadap semua konstruksi harus mencoba untuk melakukan taktik dan strategi menghadapi dunia pendidikan yang semakin tidak jelas batasnya.
Ketidakjelasan visinya untuk mencerdaskan manusia dan visinya untuk meningkatkan finansial dan social capital yang lain (ranking, status, kebanggaan, rekognisi dan sebagainya). Seperti sering disampaikan Dekan FIB UGM sebelumnya yang menyatakan bahwa di dalam sebuah struktur yang memaksa maka kita mencoba untuk memahami dan terlibat di dalam struktur tersebut apabila tidak ingin terlibas oleh struktur itu sendiri.
“Kita memiliki resistensi-resistensi mempertanyakan berbagai hal yang sering kali tidak masuk akal bagi keilmuan kita, tetapi kita mencoba untuk menjawab tantangan-tantangan struktur baru yang semakin bergerak ke arah yang kadang berlawanan dengan mindset keilmuan humaniora,” ujar Dekan FIB, Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA., saat menyampaikan laporan Puncak Dies FIB UGM ke-74 di kampus FIB, Selasa (3/3).
Wening mengungkapkan di tengah perjuangan yang tidak mudah, Fakultas Ilmu Budaya perlu membuka sebuah kran baru bagi kebahagiaan dan solidaritas bersama yakni kran yang disebut sebagai the Culture of Appreciation. Kenapa the Culture of Appreciation, sebab di FIB UGM ini semua bekerja keras dengan cara masing-masing. Dosen dengan cara dan keahlian masing-masing mencoba memastikan terjaganya lini-lini penting untuk ditingkatkan.
Dalam hal penjaminan mutu pada tahun 2019 Fakultas Ilmu Budaya mengajukan reakreditasi BAN PT untuk tujuh program studi dan semuanya memperoleh peringkat A. Ketujuh program studi tersebut Sastra Jawa, Sastra Jepang, Antropologi Budaya, Sejarah, Sastra Arab, Sastra Inggris dan program studi S2 Pengkajian Amerika.
Di tahun 2019 juga, Fakultas Ilmu Budaya UGM mencatat rekor prestasi tertinggi dalam PIMNAS. Berkat koordinasi yang baik antara mahasiswa, pembimbing dan fakultas, FIB UGM memberikan sumbangan medali terbanyak bagi UGM sehingga mampu meraih juara umum PIMNAS 2019.
“Di 2019 mahasiswa FIB UGM berhasil mencetak 70 prestasi kejuaraan nasional, 11 prestasi tingkat regional dan 6 prestasi di tingkat internasional. Raihan prestasi-prestasi ini melebihi Mandat Capaian Kinerja yang dibebankan UGM kepada fakultas,” ucap Wening.
Kosmopolitanisme
Sementara itu, Prof. Dr. Juliasih, S.U dalam pidato ilmiahnya mengatakan kosmopolitanisme dimaknai sebagai suatu keadaan yang tercipta dari terhubungnya antarwarga dunia dan antarnegara-dunia dalam tatanan global karena semakin sering terjadinya perpindahan-perpindahan dan kemajuan teknologi. Bibit-bibit kosmopolitanisme dimulai oleh migrasi-migrasi awal seperti yang dilakukan keluarga Bergson di abad ke-19.
“Di abad ke-21, tatanan global semakin kosmopolitan sebagaimana terlihat dari perpindahan yang begitu cepat, sering dan relatif mudah. Seseorang dapat berkelana dan berpindah-pindah di berbagai penjuru dunia kapan saja asalkan dia memiliki sumber daya,” ungkap Guru Besar Departemen Antarbudaya FIB UGM.
Sedangkan pemaknaan kosmopolitanisme kedua, menurut Juliasih, adalah suatu cara pandang yang diperlukan manusia untuk hidup di dunia dengan beragam budaya. Dalam hal ini suatu cara pandang untuk menyikapi tatanan global yaitu dengan memahami perbedaan diantara para warga dunia dan tetap hidup berdampingan satu sama lain.
“Untuk dapat menghayati cara pandang kosmopolitan ini dibutuhkan seseorang yang intelektual. Intelektual dalam kasus ini diartikan sebagai orang yang budinya memahami banyak hal. Secara fisik, bisa saja seseorang intelektual tetap tinggal di suatu tempat tetapi akal budinya mengembara dan melampaui batasan yang menyekat,” tuturnya.
Penulis : Agung