Selama sepekan, 19 s.d 25 Februari 2008, Asean Youth Campus digelar di kota Yogyakarta. Sebanyak 55 peserta dengan 11 Ketua Delegasi terlibat dalam acara tersebut.
Mereka berasal dari 11 negara, Brunai Darussalam, Cambodia, Indonesia, Lao PDR, Malaysia, Myanmar, Philippina, Singapura, Thailand, Vietnam dan Korea.
Mengusung tema “Ekspresi Budaya Menuju Satu Komunitas Aseanâ€, Asean Youth Campus 2008 diisi lima kegiatan, yaitu workshop culture heritage, musik, tari, crafts dan foto jurnalis. Dengan demikian, lima wakil masing-masing negara merupakan expert di bidang masing-masing.
Melalui kegiatan workshop tersebut, mereka mencoba saling meneguhkan sebagai sesama masyarakat Asean. Mereka hilangkan segala perbedaan untuk menjalin persatuan.
Seperti pengakuan lima peserta dari Indonesia, Yuni Krisnaningrum Alberta, Gading Nurendra Paksi, Devita Harya, Meilisa Putri dan Arysatyani Dhyani, Selasa (4/3) di Kampus UGM. Mereka sependapat, bahwa Asean Youth Campus 2008 menjadi ajang persahabatan untuk menuju satu komunitas Asean.
“Kita saling menjaga image satu dengan yang lain. Meski Indonesia dengan Malaysia timbul berbagai masalah, itu hanya diomongkan dalam hubungan personal saja. Disitu, semua akan dibuka segala uneg-uneg. Jadi, tidak pernah dibahas dalam situasi forum resmi, hanya personal saja,†ungkap Gading Nurendra.
Kelima wakil Indonesia meyakini budaya menjadi media mempersatukan Asean. Budaya dinilai sebagai sarana efektif sekaligus menjadi jembatan untuk menghubungkan satu negara dengan negara lainnya.
“Menghilangkan perbedaan dan menjalin persatuan, itu saja yang ingin digalang. Secara personal, wakil Malaysia pun sesungguhnya mengakui bila lagu rasa sayange, reyog ponorogo itu milik Indonesia. Mereka mengakui hal itu. Tapi yang kita tekankan kalau masalah lagu rasa sayange, reyog ponorogo, batik tidak lagi dipermasalahkan ini milik siapa? Yang perlu ditekankan adalah bagaimana agar masalah ini tidak terjadi lagi dikemudian hari, di negara-negara Asean dan negara lain,†ungkap Narendra.
Sedikit berbeda dari penyelenggaraan sebelumnya, di Brunai Darussalam tahun 2006. Di Asean Youth Campus 2008 ini, perwakilan Indonesia kesemuanya berasal dari mahasiswa UGM.
Mungkin kebetulan. Yang pasti, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, dimana keterwakilan Indonesia terdiri dari beberapa Perguruan Tinggi.
Kelima mahasiswa UGM tersebut terpilih mungkin karena expert di bidangnya. Mereka adalah Devita Harya (Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Program Kelas Internasional) bidang Photojurnalist, Yuni Krisnaningrum Alberta (Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Bahasa Inggris) bidang cultural heritage, Meilisa Putri (Fakultas Ilmu Budaya UGM Jurusan Bahasa Inggris) bidang dancer, Aryasatyani Dhyani. K (Fakultas Isipol Jurusan Ilmu Komunikasi) bidang crafts dan Gading Narendra Paksi (Fakultas Isipol UGM Jurusan Ilmu Komunikasi) bidang musik.
Selain mendapat pengalaman, mereka mengaku saling belajar kebudayaan dari negara lain.
Seperti pengakuan Meilisa Putri. Meski senang, ia merasa kesulitan ketika harus menghapal 11 tarian dari 11 negara peserta Asean Youth Campus. Terlebih ketika harus mengkolaborasikannya untuk gala performance.
“Mas Didik mengajarkan Tari Jawa. Dengan waktu terbatas, kami harus menghapal 11 tarian, belum lagi mempertemukannya dengan musiknya, belum lagi ketika harus menggabung-gabungkan,†tutur Meilisa.
Pun dengan Gading Narendra, ketika harus mengikuti pelatihan musik di Kawasan Budaya Gayam milik Sapto Rahardjo. Katanya, disamping harus membuat komposisi, workshop musik mentarget untuk bisa mengkolaborasi sekaligus mengiringi tari-tarian.
“Sebelas negara membawa alat musik yang berbeda-beda. Kita harus bisa memadukannya,†ujar Gading.
Tak kalah seru pengalaman Aryasatyani di workshop crafts, Devita di photojurnalist, dan Yuni di cultural herritage. Ketiganya memiliki pengalaman yang hampir sama.
Ketiganya mengakui, beberapa perwakilan negara memiliki keahlian tinggi di bidangnya. Sayang, hal itu tidak diimbangi dengan penyampaian bahasa yang baik.
“Ya, mereka ahli di bidangnya. Seperti di crafts, wakil dari Cambodia bisa membuat gelang dalam waktu lima menit. Namun, sayang mereka tidak mampu berkomunikasi, sehingga disampaikan dengan bahasa isyarat,†ungkap Aryasatyani mewakili teman yang lain. (Humas UGM)