Indonesia dalam ancaman perpecahan. Bahkan, kajian RAN Institute di Amerika meramalkan hipotesis baru jika Indonesia tidak dikelola dengan baik akan terbelah menjadi delapan.
Sebelumnya, Pensilvania University juga telah melakukan pemetaan negara-negara rapuh di dunia dan melahirkan indeks kerapuhan negara-negara atau fragility state indeks. Dari kajian yang dilakukan Indonesia berada pada warna kuning dan bisa-bisa tergelincir pada warna merah, sebab dari 178 negara yang diranking, Indonesia berada pada ranking tengah yaitu 88.
“Itu kajian ilmiah (akademik) bukan kajian politik sehingga murni dari akademisi yang juga harus kita kritisi bersama,” ujar Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan, Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr., di hadapan para bupati, para anggota DPRD, Sekda, Bappeda, Pengelola Program Studi dan Minat Studi di Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (12/3) saat membuka Workshop Peran Perguruan Tinggi dalam Mendukung Kemandirian Daerah Berbasis Penguatan Potensi Lokal dan Kearifan Lokal.
Djagal mengakui kerja sama antara perguruan tinggi dengan pemerintah kabupaten menjadi sangat penting. Sebab, setelah dilakukan studi baik dari UGM maupun lembaga ketahanan nasional menunjukkan bahwa ketahanan nasional Indonesia sejak 2010 – 2018 memang berada pada warna kuning.
“Artinya ketahanan Indonesia kurang tangguh. Meski pernah sedikit membaik di tahun 2018 – 2019, tapi itu pun nominalnya sangat kecil sekali,” terangnya.
Djagal menyebut di dalam komponen ketahanan nasional dikenal dengan istilah gatra-gatra. Dalam ketahanan negara ada 8 gatra yang terdiri dari tri gatra dan panca gatra. Tri gatra terdiri dari geografi, demografi dan sumber daya alam, sedangkan panca gatra terdiri dari ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam.
Menariknya, dari delapan gatra tersebut sejak tahun 2010 – 2019 gatra ideologi berada pada warna kuning. Artinya, ideologi atau idealisme sebagai sebuah bangsa dan negara dipandang kurang tangguh dan berdampak pada kehidupan gatra sosial budaya yang juga berwarna kuning.
“Dampak selanjutnya adalah pada politik dan sumber kekayaan alam. Jadi, ada benang merah antara ideologi, sosial budaya, politik dan pengelolaan sumber kekayaan alam. Hal inilah yang kemudian menjadi perhatian pemerintahan Presiden Jokowi di periode 1 membangun infrastruktur, dan periode 2 membangun sumber daya manusia,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia menyambut baik saat Sekolah Pascasarjana UGM kemudian berinisiatif untuk melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah tingkat kabupaten agar keilmuan atau ilmu-ilmu yang ada di UGM dengan 290 program studi bisa berkontribusi pada pembangunan bangsa dan negara mulai dari tingkat kabupaten.
“Kami punya ilmu apapun di UGM mulai dari filsafat sampai pada teknik nuklir. Jadi, kalau nanti ada permasalahan atau potensi yang ada di masing-masing untuk dikembangkan, UGM bersedia untuk bekerja sama dengan pemerintah kabupaten guna mengembangkan potensi daerah,” imbuhnya.
Dekan Sekolah Pascasarjana UGM, Prof. Ir. Siti Malkhamah , M. Sc., Ph.D., menyatakan dari kegiatan workshop kerja sama Sekolah Pascasarjana ini diharapkan dapat berdampak untuk daerah peserta kegiatan sehingga membantu dalam proses pengembangan daerah. Melalui workshop ini pula inisiasi kerja sama maupun tindak lanjutnya dapat diwujudkan dalam bentuk sinergi pendampingan sumber daya manusia oleh Sekolah Pascasarjana UGM untuk setiap daerah guna membantu peningkatan proses percepatan pemerataan pembangunan di daerah berikut penyelesaian masalah di daerah.
“Diharapkan dapat berdampak untuk daerah peserta kegiatan sehingga membantu dalam proses pengembangan daerahnya. Dengan adanya jalinan kerja sama Sekolah Pascasarjana UGM dengan daerah peserta kegiatan harapannya dapat mendukung perwujudan pelaksanaan tridarma perguruan tinggi oleh Sekolah Pascasarjana dan mendukung pembangunan oleh daerah,” paparnya.
Penulis : Agung Nugroho