Mahkamah Agung (MA) mengabulkan judicial review Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 terkait Jaminan Kesehatan dengan membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020.
Kepala Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (PKMK FKKMK) UGM, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., menyampaikan pembatalan kenaikan tarif iuran BPJS ini menimbulkan kerugian bagi masyarakat miskin. Pasalnya, selama ini dana Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN yang seharusnya dipergunakan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu justru dipakai untuk menutup defisit yang disebabkan masyarakat relatif mampu.
“Apabila dana PBI APBN tetap dipakai untuk menutup defisit terutama yang disebabkan PBPU dan kebijakan kompensasi tetap tidak berjalan maka masyarakat miskin dan tidak mampu menjadi pihak yang dirugikan, “paparnya Kamis (12/3) dalam diskusi bertema “Apakah Kenaikan Iuran BPJS yang dibatalkan MA Mampu Menerapkan Prinsip Keadilan Sosial dalam JKN ataukah Sebaliknya? di FKKMK UGM.
Menurutnya, saat ini telah terjadi sistem kebebasan yang populis. Sekelompok rakyat sangat diuntungkan dengan kebijakan JKN, sementara sekelompok lain dirugikan yakni PBI APBN. Tak hanya itu, kebijakan saat ini dengan sistem single pool tidak mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Kemampuan fiskal pemerintah pusat juga sulit menopang kebijakan JKN.
“Kita sebagai warga negara yang baik mematuhi putusan MA. Namun begitu, terus berusaha untuk mengembalikan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sehingga revisi UU SJSN dan UU BPJS perlu dilakukan,” tutur Guru Besar FKKMK UGM.
Laksono menyampaikan bahwa yang terjadi selama ini dalam penyusunan UU SJSN mengalami perubahan sebanyak 58 kali. Sejak tahun 2005 hingga 2019 masyarakat banyak mengajukan gugatan judicial review UU SJSN dan UU BPJS ke MK dan tercatat ada 7 putusan UU SJSN dan 7 putusan UU BPJS. Hal tersebut menunjukkan payung hukum dalam pelaksanaan JKN mengandung berbagai kekurangan.
“Selama ini perdebatan ideologis terkait filosofi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan beban fiskal pemerintah untuk membayar paket manfaat JKN belum pernah masuk ke agenda revisi UU SJSN dan UU BPJS,” terangnya.
Oleh sebab itu, PKMK FKKMK UGM mengajukan sejumlah usulan menyikapi kondisi tersebut. Salah satunya BPJS fokus pada pengelolaan dana PBI APBN untuk masyarakat miskin dan tidak mampu sesuai dengan UUD 1945 dengan pelayanan standar. Selain itu, juga diperlukan pengembangan sistem asuransi kesehatan di luar BPJS untuk menangani masyarakat mampu.
Usulan selanjutnya yakni masyarakat mampu diharapkan membayar premi asuransi kesehatan sesuai dengan kemampuan membayar bukan keinginan. Apabila tidak mampu, dimasukkan ke PBI APBN atau PBI APBD. Lalu, PBI APBD perlu dilihat per daerah dan mengembalikan ke pemerintah daerah masing-masing dengan regulasi nasional termasuk pengaturan portabilitas antar daerah
“Mari kita perjuangkan JKN yang lebih berkeadilan sosial,” tegasnya.
Dalam diskusi tersebut turut menghadirkan sejumlah narasumber, seperti Sekjen Aliansi Buruh Yogyakarta, Kirnadi, dan aktivis Social Movent Institute, Eko Prasetyo. Acara dihadiri puluhan peserta dari kalangan mahasiswa, dosen, peneliti, serikat pekerja, serta masyarakat umum.
Penulis: Ika