Perkembangan teknologi telah memungkinkan berbagai negara mengembangkan berbagai potensi ekonomi digitalnya secara masif, termasuk Indonesia. Berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh situs Mckinsey, diprediksi pada tahun 2025 mendatang perekonomian digital Indonesia diperkirakan mencapai 150 miliar dolar Prediksi tersebut juga dilakukan oleh Google, Temasek, dan Bain & Co dengan angka 130 miliar dolar karena adanya adopsi penggunaan pembayaran koin digital.
Meskipun demikian, potensi ekonomi tersebut juga diiringi dengan potensi kejahatannya. Consultative Group to Assist The Poor (CGAP) menunjukkan bahwa 83 persen dari sampel penelitiannya di Filipina merupakan target penipuan berbasis telelpon genggam, yang 17 persen di antaranya kehilangan uang darinya. Penelitian lain CGAP di Tanzania menyatakan 27 persen sampelnya mengalami penipuan dengan 17 persen darinya kehilangan uang. Kasus penipuan berbasis telepon genggam juga terjadi di Indonesia. Kasus-kasus ini sering dikenal dengan penipuan berteknik rekayasa sosial.
Penipuan berteknik rekayasa sosial dilakukan dengan menembus jaringan keamanan melalui manipulasi pengguna untuk mendapatkan informasi rahasia. Teknik ini memanfaatkan psikologi korban dan menargetkan pengguna yang tidak memahami pentingnya melindungi data pribadi dan menjaga keamanan informasi rahasia lainnya. Meski tidak terlalu kuat, penipuan dengan teknik ini terjadi di berbagai industri teknologi, informasi, dan komunikasi Indonesia.
Permasalahan inilah yang menjadi topik diskusi Digitalk dengan tema “Mencegah Manipulasi Psikologis : Berinteraksi di Platform Digital dengan Aman & Nyaman” pada Kamis (12/3) di Auditorium Mandiri Lantai 4 FISIPOL UGM. Diskusi ini merupakan kegiatan rutin dari Central for Digital Society (CfDS) UGM.
Diskusi kali ini, CfDS berkerja sama dengan GOJEK dan menghadirkan beberapa pembicara, seperti Adityo Hidayat (Adjunct Researcher CfDS), Ardhanti Nurwidya (Senior Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah GOJEK), Slamet Santoso (Direktur Pemberdayaan Informatika Direktorat Jendral Aplikasi Informatika Kemenkominfo RI, Meutya Viada Hafid, Ketua Komis I DPR RI.
Adityo mengungkapkan dalam pemaparannya penipuan berteknik rekayasa sosial telah terjadi di Indonesia sejak 2013, dan terus berkembang menyesuaikan dengan teknologi dan pola komunikasi masyarakat. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa teknik ini memanfaatkan psikologi korban, ia menyatakan bahwa kondisi emosional korban menjadi aspek penting penipuan ini.
“Penipuan ini merupakan permasalahan masyarakat bersama. Tidak hanya industri terkait yang bertanggung jawab untuk menanganinya. Upaya multi aktor serta bidang diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan ini,” ungkapnya.
Sementara itu, Ardhanti menyebutkan bahwa platform-nya, yakni GOJEK, senantiasa berupaya untuk meningkatkan keamanan dari penipuan dan pencurian data penggunanya. Mereka menggunakan tiga pilar utama dalam inisiatif ini, yakni teknologi, proteksi, dan edukasi. Dua pilar awal mereka lakukan dengan meningkatkan performa aplikasi dan pelayanan. Kemudian untuk edukasi, mereka lakukan dengan keterlibatan dalam berbagai penelitian dan pembuatan kajian, salah satunya dengan CfDS kali ini. Selain itu, mereka juga secara aktif melakukan kampanye keamanan bertransaksi di beberapa kota.
Meutya mengafirmasi upaya dari GOJEK tersebut. Menurutnya, pilar-pilar tersebut penting untuk diterapkan di berbagai platform teknologi, informasi, dan komunikasi di Indonesia, utamanya edukasi, atau dalam kasus ini literasi digital. Literasi digital, menurutnya terbagi dua. Pertama literasi teknologi, yaitu kemampuan untuk mengoperasikan teknologi. Kedua literasi informasi, yakni kemampuan untuk memahami informasi-informasi apa saja yang harus dan tidak dicari lewat teknologi.
“Kedua literasi tersebut penting untuk disebarluaskan kepada masyarakat. Jarak literasi digital antar masyarakat Indonesia masih sangat lebar. Ini menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai stakeholders untuk bersama-sama meningkatkan literasi digital di Indonesia,” ujarnya.
Terakhir, Santoso menambahkan bahwa literasi ini juga ditingkatkan sejalan dengan pembangunan infrastruktur teknologi di Indonesia. “Selain literasi, sebagai stakeholders kita juga perlu infrastruktur teknologi yang kuat guna peningkatan keamanan. Dengan hal itu, kita semakin bisa meningkatkan keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam mengakses teknologi,” pungkasnya.
Penulis: Hakam