Pakar statistika UGM dan alumni FMIPA UGM menyampaikan hasil prediksi optimis terkait penyebaran Covid-19 di Indonesia. Mereka memprediksi infeksi Covid-19 di tanah air akan berhenti pada akhir Mei 2020.
“Dari hasil analisis pandemi Covid-19 akan berakhir pada 29 Mei 2020 dengan minimum total penderita positif sekitar 6.174 kasus. Dengan intervensi pemerintah, total penderita corona positif minimum di sekitar 6.200 di akhir pandemi pada akhir Mei 2020,”papar Guru Besar Statistika UGM, Prof.Dr.rer.nat Dedi Rosadi,S.Si., M.Sc., saat konferensi pers secara daring, Rabu (1/4).
Dedi selaku penanggung jawab membuat prediksi pemodelan matematika bersama dengan sejumlah pakar, yaitu Heribertus Joko (alumnus FMIPA UGM) dan Dr. Fidelis I Diponegoro (pengarang Worry Marketing sekaligus alumni PPRA Lemhanas RI).
Adapun model yang dibuat dinamai model probabilistik yang berdasar pada data nyata atau probabilistik data-driven model (PPDM).
Dia menyebutkan hasil prediksi ini perlu disampaikan mengingat sejumlah hasil prediksi model matematika dinamik terhadap data penderita positif Covid-19 yang cenderung bombastis dan terlalu berlebihan. Melalui model itu, diperkirakan penambahan maksimum total penderita Covid-19 setiap harinya adalah di sekitar minggu kedua April 2020 yaitu berkisar antara 7 hingga 11 April 2020.
“Penambahan lebih kurang 740-800 pasien per 4 hari dan diperkirakan akan terus menurun setelahnya,”jelas dosen FMIPA ini.
Berdasarkan data yang ada diperkirakan pandemi akan berakhir lebih kurang 100 hari setelah 2 Maret 2020 atau sekitar 29 Mei 2020. Adapun maksimum total penderita Covid-19 positif adalah sekitar 6174 kasus.
Dia menjelaskan sejak pertengahan Mei 2020, penambahan total penderita sudah relatif kecil. Mengacu pada hasil ini, Dedi menyarankan untuk tidak melakukan ritual mudik lebaran dan kegiatan tarawih di masjid selama Ramadan ditiadakan. Intervensi ketat oleh pemerintah melalui parsial lockdown dan penjarakan fisik yang ketat terus dilakukan sampai pandemi benar-benar berakhir di awal Juni 2020.
Prediksi tersebut berdasar data penderita hingga Kamis (26/3/2020) dan diasumsikan telah ada intervensi ketat dari pemerintah sejak minggu ketiga Maret 2020. Lebih lanjut, efek pemudik dari kota besar yang terdampak Covid-19 selama masa diberlakukannya aturan jaga jarak fisik sejak minggu ketiga Maret 2020 diasumsikan tidak signifikan.
Model ini juga masih membatasi efek-efek eksternal lainnya, semisal suhu udara, jumlah populasi, dan kepadatan penduduk diasumsikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah penderita.
Lebih lanjut Dedi menerangkan bahwa model yang mereka gunakan adalah model teori antrean. Prediksi yang dikemukakan tersebut didasari atas data penderita sampai Kamis (26/3) dan diasumsikan telah adanya intervensi ketat dari pemerintah sejak minggu ketiga Maret 2020.
Model tersebut mengasumsikan proses pasien datang ke rumah sakit sebagai penderita Covid-19 positif mengikuti proses antrean Markovian. Setelah dilakukan pencocokan model terhadap data total penderita Covid-19 positif maka Dedi dan tim mampu menjelaskan banyak fenomena penting berdasarkan model yang mereka gunakan. Model PDDM merupakan penyempurnaan dari model statistika dasar yang dikembangkan oleh Heribertus Joko Kristadi.
Dedi menyebutkan bersama sejumlah mahasiswa S3 bimbingannya, model PDDM telah dicoba dan dibandingkan dengan berbagai model statistika, pembelajaran mesin (machine learning), dan runtun waktu seperti kurva Gompertz, Logistic model, Model Eksponensial, ARIMA, dan lain lain. Namun, model PDDM ini lebih baik untuk menggambarkan total data penderita Covid-19.
Alasan pertama, model PDDM meskipun sederhana tetapi mampu memberikan akurasi prediksi satu harian ke depan yang sangat baik. Sebanding dengan kemampuan prediksi model machine learning yang kompleks.
“Alasan kedua, model PDDM juga memiliki sejumlah keunggulan yang tidak dimiliki oleh model-model lain yang diuji dan dikembangkan sebelumnya,” terangnya.
Dedi mengklaim berdasar model PPDM rata-rata eror kesalahan prediksi selama dua minggu terakhir hanyalah sebesar 1,5 persen. Setelah diujikan prediksi selama empat hari terakhir sejak Kamis (26/3) model ini ternyata sangat akurat, dengan eror yang dihasilkan selalu di bawah 1 persen
“Eror maksimum sebesar 0.9 persen dan minimum 0.18 persen,” ucapnya.
Keunggulan lainnya adalah model PDDM ini mampu untuk memprediksikan waktu terparah dan waktu berakhirnya pandemi Covid-19 di Indonesia.
Menurut Dedi dan tim, model PDDM ini akan terus diperbarui setiap hari sehingga prediksi dari model akan betul-betul mencerminkan perubahan dari data yang ada. Kajian yang mereka sampaikan didasari oleh skenario optimis, namun dapat pula digunakan untuk menguji berbagai skenario akibat intervensi dan atau pengaruh faktor-faktor penting eksternal.
Sebagai contoh dengan model ini dapat disimulasikan efek jika terjadi kenaikan penderita Covid-19 pada minggu akhir Maret 2020 dikarenakan banyaknya pemudik dari kota besar yang terdampak Covid-19 ke daerah-daerah lain.
Prediksi yang diberikan oleh Dedi Rosadi dan dan rekan-rekannya ini lebih melegakan dibanding hasil yang di sampaikan oleh beberapa peneliti sebelumnya yang menyampaikan prediksi di kondisi ekstrem mendekati 2.5 juta kasus tanpa intervensi dan dengan intervensi yang ketat meski intervensi ini berhasil sekalipun, prediksi minimum di akhir pandemi mencapai sekitar 500.000 kasus.
Dia menambahkan apabila prediksi menggunakan estimasi yang kurang akurat dan bombastis, justru dikhawatirkan menambah keresahan masyarakat. Selain itu, juga rawan dimanfaatkan secara kurang bijak oleh pihak-pihak yang memilki kepentingan. Model dinamik matematik yang digunakan oleh beberapa pihak memberikan prediksi yang terlalu berlebihan dengan eror yang sangat tinggi dan direkomendasikan untuk digunakan dengan kehati-hatian untuk Indonesia.
Penulis: Ika