![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2020/04/0304201585925449712770510-766x510.jpeg)
Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Prof. Dr. Cornelis Lay, mengapresiasi langkah pemerintah pusat dan daerah melakukan realokasi anggaran dalam penanganan pandemi Covid-19. Meski sedikit terlambat, menurutnya langkah tersebut sebagai bentuk respons pemda dalam menanggapi kondisi yang terjadi di lapangan. “Penyesuaian anggaran menunjukkan perhatian dan perasaan yang kuat dalam krisis dan melihat dampak risiko sangat besar,” kata Cornelis dalam diskusi daring yang diselenggarakan Fisipol UGM bertajuk Covid-19 dan Krisis Koordinasi, Jumat (3/4).
Munculnya peraturan pemerintah dan langkah beberapa kepala daerah yang akan melakukan pengalokasian anggaran menurutnya sebagai pengalaman baru di tengah kondisi kegawatdaruratan. Apalagi pandemi Covid-19 ini, menurutnya, sebagai bencana non alam yang tidak hanya dihadapi bangsa Indonesia, namun juga dihadapi oleh banyak negara. “Birokrasi pemerintahan kita yang dibangun selama ini belum pernah memiliki pengalaman seperti ini sebelumnya,” katanya.
Selama ini bangsa Indonesia sudah memiliki pengalaman dalam mengatasi dampak bencana yang datang dari alam. Namun, ketika wabah pandemi Covid-19 sampai ke tanah air, awalnya pemerintah pusat dan daerah mengalami kegagapan dalam melakukan koordinasi mengatasi penyebaran virus ini di masyarakat serta meminimalkan dampaknya pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Namun begitu, adanya inisiatif pemerintah di tengah kondisi bencana dengan melakukan realokasi anggaran menujukkan para pengambil keputusan harus bisa berpikir bijak demi kepentingan kemanusiaan untuk menyelamatkan nyawa banyak orang.
“Sekarang ini kita tidak lagi bicara soal inefisiensi dan inefektiftas birokrasi pemerintahan hingga penyimpangan sosial, namun mempertaruhkan kemanusiaan,” ujarnya.
Menurutnya, hampir semua negara mengalami kegagapan dalam menekan jumlah penyebaran Covid-19. Pemerintah mengalami hal yang sama terkait koordinasi di tingkat institusi negara hingga tingkat pemerintahan terkecil. “Saat ini di tingkat RT/RW ada yang ingin melindungi warga dan teritorialnya masing-masing dengan menutup akses,” katanya.
Ke depan, ia mengusulkan pemerintah menyiapkan peraturan dalam penyiapan langkah antisipatif dalam meghadapi kondisi yang hampir sama. “Perlu ada langkah hukum untuk antisiapsi. Situasi sekarang ini lebih banyak orang jadi korban, belum lagi kerugian ekonomi dan sosial yang kita hadapi,” katanya.
Selain itu ia menganjurkan agar pemerintah pusat dan daerah selaku pengambil kebijakan menggunakan data informasi berdasarkan hasil riset atau penggunaan bukti dalam pengambilan kebijakan (evidence based policy). “Sudah saatnya kita mulai menggunakan evidence based policy yang selama ini lebih banyak didiskusikan daripada dikerjakan serta justru hanya berdasarkan naluri dan faktor kebiasaan saja. Saya kira ini momentum juga mendorong cara berpikir baru dalam birokrasi kita,” katanya.
Pendapat yang sama disampaikan oleh pakar politik dan pemerintahan lainnya Prof. Dr. Purwosantoso yang menilai dalam kurun sepuluh tahun terakhir birokrasi pemerintahan gagal dalam mengelola kebijakan di tengah kegawatdaruratan. “Kita selalu gagap dalam kepemerintahan serta situasi semacam ini. Namun, kita bersyukur sudah ada BNPB yang memberikan dukungan data dan isu dalam upaya pengambilan keputusan,” ujarnya.
Menurutnya, lemahnya dukungan basis data untuk pengambilan keputusan masih menjadi pekerjaan rumah dalam membangun koordinasi di tingkat birokrasi dan pemerintahan.
Penulis : Gusti Grehenson