Salah satu usaha untuk mencegah penyebaran Covid-19 semakin bertambah dengan penegakan diagnosis COVID-19 yang cepat dan akurat. Apabila kasus konfirmasi lebih cepat terdeteksi maka tindakan isolasi dapat segera dilakukan, sementara kasus konfirmasi dengan gejala mendapat terapi yang cepat dan tepat serta dapat dilakukan contact tracing secepatnya.
Namun begitu, selama ini peneguhan diagnosis hanya mengandalkan laboratorium terpusat di Jakarta. Seiring jumlah sampel pemeriksaan yang bertambah banyak maka diperlukan laboratarium jejaring baru untuk penegakan diagnosis di daerah. Dua laboratorium yang ada di Kampus UGM yakni laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium The World Mosquito Program (WMP) yang ada di FKKMK UGM difungsikan untuk membantu penegakan diagnosis Covid-19.
Dosen FKKMK UGM, dr. Eggi Arguni, M.Sc., Ph.D., Sp.A., mengatakan dua laboratorium di UGM tersebut sudah digunakan untuk deteksi Covid-19 sejak akhir pekan lalu. Sejumlah dokter dan 13 staf teknisi laborataorium didedikasikan bekerja untuk kedua lab tersebut. “Kita menguji sampel pasien yang berasal dari rumah sakit, sejak Jumat pekan lalu kita menerima sampel dari RSA UGM,” katanya kepada wartawan, Kamis (9/4).
Menurut Eggi sudah ada Surat Keputusan (SK) dari Kemenkes yang menunjuk laboratorium jejaring untuk pemeriksaan COVID-19. Di Propinsi DIY sendiri sudah ditunjuk RSUP Dr Sardjito dan RSA UGM. “Untuk RSA UGM sendiri laboratorium yang digunakan adalah lab mikrobiologi dan lab diagnostik WMP tersebut,” katanya.
Penunjukan laboratorium jejaring ini maka peneguhan diagnosis pasti Covid-19 tidak lagi menunggu hasil uji lab dari pusat untuk uji PCR. Sebab, dengan satu laboratorium di pusat untuk menguji sampel seluruh Indonesia maka waktu tunggunya akan menjadi sangat panjang. “Adanya laboratorium jejaring di DIY akan mempercepat hasilnya untuk diketahui. Apalagi diagnosis pasti infeksi COVID-19 harus dilakukan dengan PCR bukan rapid test,” ujarnya.
Untuk peneguhan diagnosis pasti Covid-19 diperlukan uji pemeriksaan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) berasal dari sampel usapan (swab) nasofaring atau bagian dalam hidung dan orofaring (bagian dalam mulut dan tenggorokan). “Dari usapan ini akan di tes PCR untuk mencari virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan infeksi COVID-19,” urainya.
Setiap perguruan tinggi menurutnya memiliki kompetensi untuk melakukan pemeriksaan dengan metode PCR. Namun demikian, laboratorium yg melakukan pemeriksaan ini harus minimal berlevel BSL-2. “Tidak bisa lab biasa,” ujarnya.
Namun demikian, imbuhnya, setiap pemeriksaan sampel pasien terduga Covid-19 tidak menutup kemungkinan para tenaga laboratorium juga berisiko tertular apabila standar prosedur pemeriksaan tidak dilaksanakan. “Karenanya kita harus menggunakan APD lengkap. Sudah ada prosedur biosafety yang kami terapkan dalam lab,” katanya.
Ia mengakui kemungkinan terinfeksi tetap ada dalam setiap pekerjaan yang berhubungan agen infeksius. Pihaknya selalu mematuhi SOP dan biosafety sehingga kemungkinan risiko tertular dapat dihindari. “Hingga saat ini kita sudah menerima sampel dari RSA UGM sejak Jumat minggu lalu. Kita sudah mulai melakukan uji PCR,” katanya.
Penulis : Gusti Grehenson