Setelah sekian lama terjadi, praktek pedofilia di Bali tahun 1995 baru terdengar. Memang ironis, karena di tahun 1998 kasus-kasus pedofilia tersebut baru terungkap kembali dan mendapat perhatian secara khusus di tahun 2004.
Demikian presentasi staf peneliti Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM Drs Rohman pada seminar “Tahta Pedofilia di Istana Dewa Pulau Dewataâ€, di PSKK UGM, Kamis, (28/9).
Hasil penelitian Rohman mengungkapkan, persoalan-persoalan kemiskinan di Bali, termasuk yang terjadi di kaki Gunung Agung, seperti di Kabupaten Karangasem dan beberapa Kabupaten lain menjadikan pengetahuan masyarakat akan pedofilia sangat minim. Apalagi pelakunya adalah orang asing, yang datang ke Bali dianggap sebagai penolong.
Pada beberapa kasus, kata Rohman, kaum pedofil ini berwajah sebagai pekerja sosial, guru bahasa, pengasuh anak, ayah angkat atau orang tua asuh. “Ia berperan sebagai penderma, penyantun dan penolong bagi keluarga-keluarga miskinâ€, ujar Rohman.
Lebih lanjut menurutnya, bentuk-bentuk pertolongan itu, bisa berupa uang, pakaian, makanan, modal usaha, bantuan biaya sekolah, santunan sosial kemasyarakatan dan lain-lain. “Oleh karena kemampuan menarik simpati publik dan personal seperti itu, kebanyakan studi mengatakan jika strategi kaum pedofil, dinilai sangat cerdik dan licik, rapi dan canggih, terselubung dan tersembunyi, tetapi menipuâ€, tandas Rohman. (Humas UGM).