Pegiat obat herbal Indonesia yang terdiri dari akademisi, praktisi,dan produsen, menyelenggarakan forum diskusi terkait pandemi covid-19. Mereka berkumpul dalam forum daring melalui aplikasi Webex pada Jumat (1/5). Moderator dari diskusi ini yakni Prof. Agung Endro Nugroho, M.Si., Ph.D., Apt., Dekan Fakultas Farmasi UGM.
Agung memaparkan bahwa diskusi ini diselenggarakan menyikapi laju pencarian obat alternatif untuk menyembuhkan Covid-19. Beberapa pihak sudah mengklaim menemukan beberapa obat, salah satunya Traditional Chinese Medicine (TCM) di Wuhan. Keberadaan obat tradisional tersebut memacu pegiat obat herbal atau tradisional di Indonesia.
Menurut Agung, Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar nomor tiga di dunia, termasuk tanaman obatnya. Indonesia memiliki produk jamu yang kini mulai dikenal di dunia. Oleh karena itu, para pegiat tersebut mulai menyusun formulasi obat Covid-19 tersebut.
Salah satu produk datang dari Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt., dosen Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM yang turut hadir dalam diskusi tersebut. Guru besar Fakultas Farmasi UGM ini menyatakan bahwa ia telah berkerja sama dengan beberapa pihak dalam membuat obat herbal. Namun, ia menyebut terdapat kendala ketika ingin mengurus perizinan di BPOM.
“Kita sudah mengajukannya jauh-jauh hari. Sekarang ini sudah tahap uji klinis, namun belum juga mendapat persetujuan. Padahal, obat TCM tadi sekarang sudah mendapat izin edar. Hal ini menurut saya kurang adil,” ungkapnya.
dr. Inggrid Tania, M.Si., ketua umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia, membenarkan hal itu. Ia yang turut terlibat dalam pengajuan obat tersebut, menyatakan bahwa protokol uji klinik obat tradisional di Indonesia disamakan dengan standar uji klinik untuk obat konvensional dunia sehingga membuat prosedurnya juga menjadi lama.
“Prosedur untuk memperoleh perizinan itu bisa mencapai tiga bulan, bahkan lebih. Kita tidak tahu kapan pandemi ini berakhir. Jika demikian, kita akan kehilangan kesempatan untuk berkontribusi sekaligus membuktikan bahwa obat tradisional Indonesia tidak kalah dengan obat luar negeri,” terangnya.
Sementara itu, mengenai obat TCM yang telah diizinkan beredar, Inggrid juga membenarkan hal itu. Ia menceritakan bahwa obat tersebut awalnya telah beredar sebelum mendapat izin dari BPOM. Pihaknya pun memprotes hal tersebut pada tanggal 26 April lalu. Akhirnya mereka mengurus perizinan pada 27 April dan ternyata 30 April izin edarnya sudah keluar.
Setelah mengetahui tersebut, Inggrid menuturkan tentu pihaknya merasa tidak adil. Apalagi birokrasi yang dilalui baik pihaknya maupun TCM sama. “Oleh karena itu, kami saat ini masih terus meminta kejelasan dari pihak yang berwenang untuk memberikan keterangannya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Sri Wahyono, Ketua Bidang Penelitian, Pendiikan, Pengembangan, Pengobatan, Standarisasi, dan Saintifikasi Jamu GP Jamu Indonesia, mengaku telah meneliti produk TCM tadi. Ia menyebut komposisi dari obat tersebut memiliki kemiripan dengan ramuan tradisional Indonesia.
“Dari segi komposisi memang terdapat perbedaan, tapi dari segi manfaat sebenarnya mirip. Produk tersebut utamanya mendukung terapi suportif dan simtomatik dari Covid-19, bukan kuratif. Efeknya semisal untuk meredakan flu, demam, dan meningkatkan sistem imun. Bahan dari Indonesia juga banyak yang memiliki khasiat yang sepadan. Jika demikian, tentu produk herbal Indonesia memiliki potensi lebih besar dalam pengobatan Covid-19,” ungkapnya.
Prof. Dr. Suwijiyo Pramono, Apt., Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, mengungkapkan bahwa sebenarnya dari Satgas Covid-19 DPR RI juga ingin memberi kesempatan kepada produk herbal Indonesia. “Dalam waktu dekat satgas akan melakukan pertemuan kembali dengan para pegiat herbal Indonesia. Oleh karenanya untuk sekarang, dapat mempersiapkan produk herbal Indonesia untuk pengobatan Covid-19 yang kualitasnya lebih baik dari TCM, utamanya untuk pasien dengan gejala ringan dan sedang,” pungkasnya.
Penulis: Hakam
Foto: Antara