Krisis Kesehatan akibat Covid-19 dalam empat bulan terakhir di seluruh dunia telah melahirkan krisis tata kelola penanganan. Pandemi global ini telah menyebabkan kegamangan tata kelola penanganan di hampir semua negara, terlepas dari apapun tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi serta karakter politiknya. Sistem manajemen krisis standar kehilangan relevansi, memaksa pemerintah mengambil kebijakan yang cenderung trial and error. Indonesia bahkan menghadapi tantangan serupa, bahkan diperparah dengan adanya politisasi pandemi dan sikap pengabaian atas science di awal krisis, keterbatasan kapasitas ekonomi, serta sistem pelayanan kesehatan yang terbatas.
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM meluncurkan Buku Tata Kelola Penanganan COVID-19 di Indonesia: Kajian Awal yang ditulis oleh 37 peneliti dan dosen lintas bidang ilmu di UGM. Buku yang diterbitkan oleh Gadjah Mada Press ini mencakup; respons pemerintah dan lembaga internasional, respons dan resiliensi sektoral, kelompok marginal dan modal sosial, dan dimensi pengetahuan dan komunikasi publik. Buku ini secara umum menunjukkan sisi gelap dari tata kelola yang terbuka sebagai dampak Covid-19, dan kegamangan yang melanda semua aktor dan sektor dalam meresponnya. Namun, di tengah kegamangan muncul kekuatan dan inisiatif berbagai pihak, terutama masyarakat, yang mencerminkan menguatnya solidaritas di level sub nasional, nasional, dan global.
Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., mengatakan kehadiran buku ini sebagai catatan sejarah bagaimana dunia dan bangsa Indonesia merespons wabah pandemi virus corona. “Buku ini memberikan sebuah catatan bagaimana kita menangani sesuatu yang tidak biasa, kita harapkan bisa memberikan manfaat bagi generasi penerus selanjutnya,” kata Rektor dalam diskusi dan peluncuran buku secara virtual, Sabtu (2/5).
Hal senada juga disampaikan oleh Dekan Fisipol UGM, Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto, menuturkan buku ini mencoba menganalisis penanganan covid tidak hanya dari sisi medis, namun juga dari sisi kebijakan kelembagaan dan kerja sama antara lembaga yang saat di awal lebih banyak disorot oleh masyarakat.
Dr. Wawan Mas’udi selaku editor buku ini mengatakan buku banyak membahas soal respons pemerintah dan lembaga internasional terhadap Covid-19, perbandingan penanganan antar negara dan dinamika kebijakan nasional. Ia menambahkan, banyak penulis melihat masih lemahnya fondasi pengetahuan sebagai basis kebijakan dalam penganan covid di awal dan lebih dominan ke pertimbangan politik. “Ada fragmentasi kebijakan dimana tata kelola sektor kesehatan tidak setara dan didominasi secara berlebihan oleh kekuatan pasar dan oligarki. Karakteristik rezim yang terlalu fokus ke ekonomi dan pembangunan dan tergagap pada pandemi ini saat awalnya,” katanya.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Abetnego Tarigan, selaku penanggap dalam diskusi buku tersebut mengakui bahwa di awal kasus pandemi ini mulai masuk ke tanah air, sektor kesehatan termasuk paling banyak mendapat kritik dari masyarakat. “Ada ketertutupan transparansi data di sektor ini. Kita harapkan pasca covid ini lebih terbuka,” katanya.
Menurutnya, tidak mudah bagi pemerintah dalam memutuskan kebijakan di tengah pandemi ini. Namun, setiap kebijakan publik yang diambil sudah dipertimbangkan dengan baik bahkan melalui hasil survei. “Pemerintah sering kali dipersepsikan seolah-olah tidak ada ketegasan atau ketidakmampuan, namun sebaliknya pemerintah melakukan kehati-hatian dan proses belajar pada isu ini. Di dalam kasus pandemik, setiap negara dihadapkan terlalu cepat atau terlambat. Namun, ada banyak potensi keterbukaan pasca covid ini, isu riset didorong lebih banyak dilakukan dan adanya transparansi data dalam pemerintah,” katanya.
Penulis :Gusti Grehenson