Untuk menjaga kesehatan mata maka pekerjaan melihat jarak dekat termasuk membaca dekat sebaiknya dibatasi. Terlebih pada masa pandemi Covid-19 ketika pekerjaan dan pelajaran menuntut harus dilakukan dari rumah.
Prof. dr. Suhardjo SU Sp.M (K), Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, berharap banyak pihak memperhatikan persoalan ini. Sebab, di masa Covid-19 ini banyak pekerjaan dan pelajaran menuntut harus dilakukan dengan melihat atau membaca dari laptop maupun smartphone.
Oleh karena itu, menurutnya, setiap 30 menit melakukan pekerjaan membaca harus melakukan istirahat selama 5 – 10 menit. Kemudian pekerjaan melihat atau membaca sebaiknya dilakukan pada ruangan yang cukup terang setidaknya dengan intensitas lampu > 3000 lux.
“Selain itu melakukan olahraga setiap hari di ruang terbuka selama 30 – 60 menit. Beberapa data penelitian menunjukkan kurangnya pergerakan setiap hari pada anak-anak memiliki risiko pertambahan ukuran kaca mata minus (miopia) lebih besar, padahal saat ini mereka banyak di rumah,” ujarnya, di FKKMK UGM, Selasa (5/5).
Miopia merupakan suatu kelainan refraksi mata yang disebut juga dengan mata minus atau rabun jauh. Penderita miopia tidak mampu mencitrakan bayangan benda yang letaknya jauh tepat pada retina. Hal ini menyebabkan penderita miopia kesulitan saat melihat objek jauh, tetapi jelas saat melihat objek dekat.
“Disebut menderita miopia ketika diperlukan kacamata minus lebih dari 0.5 dioptri untuk mengoreksi penglihatan. Ini penyakit yang tidak bisa diobati dan terus berkembang, tapi bisa dikendalikan progresifitasnya,”ujar Suhardjo.
Dalam penelitiannya bersama dr. Mohammad Nafis Sabirin Mara disebutkan sebab-sebab proses terjadinya miopia berkaitan erat dengan panjang bola mata. Saat bayi, panjang bola mata cenderung pendek, lantas seiring bertambahnya usia akan berkembang dan mencapai panjang normal pada usia anak-anak (sekitar usia 11 tahun), dan bila proses pertambahan panjang bola mata melebihi seharusnya maka seseorang akan menderita miopia.
“Ada berbagai faktor yang memengaruhi anomali pertambahan panjang bola mata. Faktor genetis atau keturunan sangat berpengaruh, tapi faktor lingkungan juga memiliki peranan dalam terjadinya miopia,” ucapnya.
Disamping faktor genetis, Suhardjo menyebut faktor lingkungan seperti banyak membaca dekat, lamanya melihat layar smartphone atau televisi dan sedikitnya waktu aktivitas di luar ruangan turut meningkatkan risiko terjadinya miopia. Sebaliknya, banyaknya aktivitas di luar ruangan (outdoor) dan aktivitas melihat jauh terbukti menurunkan risiko terjadinya miopia.
Miopia saat ini telah menjadi fenomena di dunia, berbagai berbagai penelitian secara konsisten menunjukkan angka kejadian terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di Seoul, Korea Selatan, prevalensi miopia pada pria berusia 19 tahun mencapai 96,5 persen, padahal sekitar 60 tahun yang lalu prevalensi miopia di Korea Selatan adalah 10 -20 persen dan dekade terakhir mengalami peningkatan cukup tajam 80-90 persen pada semua kelompok umur.
Fenomena ini disebut ledakan miopia (Myopia Booming). Asia Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia merupakan daerah dengan angka lonjakan miopia yang signifikan. Data Oftalmologi Komunitas (Ofkom) FKKMK UGM pada 312 anak, 41 persen mengalami miopia, dan 21 persen mengalami gangguan refraksi berat. Penelitian Holden pada tahun 2016 menyebutkan prevalensi miopia di dunia saat ini adalah 28 persen penduduk dunia atau sekitar 2 miliar dan diperkirakan pada tahun 2050 akan mencapai 50 persen atau sekitar 5 miliar.
“Pergeseran kultur urbanisasi yang tinggi diperkirakan menjadi penyebab terjadinya fenomena ini,” terangnya.
Suhardjo menyebut kelompok usia anak-anak dan remaja menjadi perhatian khusus dalam fenomena ledakan miopia karena jumlahnya yang besar di kelompok usia ini. Terlebih semakin awal seorang anak terkena miopia, semakin besar risiko terjadinya komplikasi.
Anak yang menderita miopia sebelum usia sembilan tahun disebut sebagai miopia dini. Miopia dini ini memperbesar risiko seorang anak terkena miopia tinggi (lebih dari minus 5 dioptri).
“Miopia tinggi dapat berkembang menjadi komplikasi penyakit yang semakin berat lagi seperti glaukoma, ablasi retina, katarak, dan makulopati. Selain itu, miopia dini yang tidak segera dikoreksi dengan tepat akan berisiko mengganggu perkembangan fungsi visual yang menyebabkan penderita mata malas, ambliopia,” katanya.
Menyitir pendapat Kovin, Suhardjo dalam penelitiannya mengatakan dampak kerugian sosial dan ekonomi akibat miopia ini. Kerugian dunia akibat miopia pada tahun 2015 setara dengan 250 miliar dolar Amerika. Diperkirakan biaya penatalaksanaan miopia di dunia adalah sekitar 20 miliar dolar Amerika untuk 5 tahun. Sedangkan perkiraan potensi hilangnya produktivitas dunia yang terkait penyakit miopia yang tidak tertangani senilai 244 miliar dolar Amerika per tahun.
“Angka ini bisa menggambarkan bagaimana miopia memiliki dampak sosial dan ekonomi yang dahsyat. Oleh karena itu, tindakan pencegahan atau pengendalian penyakit miopia menjadi penting untuk diupayakan,” imbuhnya.
Berbagai studi menunjukkan bahwa lebih banyak waktu yang dihabiskan di luar ruangan efektif untuk mencegah atau menunda timbulnya miopia. Paparan sinar matahari (3.3 jam per hari) saat aktivitas luar ruangan secara signifikan mengurangi risiko miopia.
Juga membatasi waktu untuk membaca dekat dan melihat layar pada alat elektronik seperti Smartphone dan televisi juga sangat bermanfaat. Menunda timbulnya miopia atau memperlambat laju perkembangan miopia akan mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi dan dampak buruk yang lebih luas.
Dia menambahkan koreksi kacamata yang tepat dapat mencegah progresifitas miopia secara signifikan. Demikian pula dengan pemberian obat siklopegik, tetes mata atrofin sulfat 0.01 persen satu kali per hari memiliki efek dalam mencegah progresivitas miopia.
“Upaya-upaya pencegahan ini sangat baik bila dapat dilakukan di berbagai level masyarakat baik tingkat keluarga, institusi sekolah, maupun kebijakan pemerintah,” pungkasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto: Alodokter.com