Memasuki bulan ketiga semenjak ditemukannya kasus pertama Covid-19 di Indonesia, pandemi Covid-19 telah menimbulkan perubahan yang signifikan dalam beberapa sektor di tanah air, tidak terkecuali sektor pangan dan pertanian.
Masalah ketersediaan pangan hingga fluktuasi harga bahan pokok terjadi di berbagai daerah, utamanya sebagai dampak dari penerapan kebijakan penanganan Covid-19 berupa physical distancing hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“Dampak Covid-19 tidak hanya dari penyakitnya, tetapi juga kebijakan yang diambil, ada PSBB dan sebagainya, itu berpengaruh pada aktivitas perekonomian, pertanian juga terdampak,” ucap Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Prof. Dr. Ir. Masyhuri, Jumat (8/5).
Hal ini ia sampaikan dalam diskusi bertema “Kemandirian Pangan di masa Pandemi dan Pasca Pandemi” yang diselenggarakan Dewan Guru Besar UGM.
Dampak pandemi pada sektor pertanian, papar Masyhuri, meliputi berbagai aspek, mulai dari produksi, distribusi, serta konsumsi produk pangan. Harga kebutuhan pangan pun menjadi tidak menentu.
Gula serta bawang putih adalah beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga, sebaliknya komoditas lain seperti cabai dan sejumlah produk peternakan seperti daging ayam dan telur mengalami penurunan nilai jual.
“Harga-harga seperti tak menentu, ada yang naik, tapi ada juga yang turun. Sebagian ini karena permintaan jatuh sementara persediaannya tetap, sehingga harga mulai berjatuhan,” terangnya.
Di samping itu, impor produk pertanian yang selama ini belum bisa dipenuhi dengan produksi dalam negeri pun mengalami kendala, karena perubahan kebijakan dari negara-negara eksportir yang berusaha untuk menyimpan hasil produksi untuk kebutuhan dalam negeri. Situasi ini, menurutnya, bisa semakin buruk jika pandemi Covid-19 terjadi berkepanjangan.
“Semakin lama pandemi ini berangsung, semakin kompleks masalah pangan yang dihadapi,” tuturnya.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Ir. Musdhalifah Machmud, MT, mengutarakan pada April 2020 bahan makanan mengalami deflasi sebesar 0,13 persen memberikan indikasi penurunan permintaan masyarakat.
Konsumsi pangan pun mengalami penurunan sebesar 20 persen. Konsumsi daging bahkan diprediksi mengalami penurunan lebih dari 30 persen. Kondisi ini, ucapnya, diantisipasi dengan insentif untuk penguatan petani dan kebijakan penyediaan pangan bagi masyarakat.
“Kebutuhan pangan pokok masyarakat dijamin ketersediaannya oleh pemerintah, terutama pemenuhan kebutuhan selama bulan puasa dan Idul Fitri,” kata Musdhalifah.
Tantangan penyediaan pangan di tahun ini, terangnya, tidak hanya datang dari pandemi Covid-19 yang berpotensi menimbulkan gangguan pada produksi dan distribusi produk pangan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Tantangan juga datang dari adanya prediksi musim kemarau yang lebih kering yang dimulai pada bulan Juni mendatang di daerah sentra produksi pertanian, khususnya di sebagian Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Bali.
“FAO memberi peringatan tentang potensi krisis pangan sebagai dampak dari pandemi Covid-19 dan kekeringan,” ucapnya.
Pemerintah terangnya telah menetapkan sejumlah langkah penyediaan pangan, di antaranya dengan optimalisasi penyerapan gabah atau beras petani oleh Perum Bulog untuk cadangan pemerintah sebagai instrumen stabilisasi harga dan program bantuan sosial masyarakat.
“Kementerian Pertanian dan BUMN Pangan bekerja sama dalam distribusi dan penyediaan pangan pada daerah defisit stok, serta penyerapan dan fistribusi hortikultura,” paparnya.
Penulis: Gloria
Foto: Freepik.com