Perubahan besar telah terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan, yaitu bergesernya paradigma pengelolaan hutan dari hanya berorientasi kayu ke pengelolaan berbasis ekosistem. Perubahan ini diikuti pula dengan penempatan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam hal ini masyarakat sekitar hutan, dalam posisi strategis melalui pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM).
Menurut Prof. Dr. Ir. Moch. Sambas Sabarnurdin, M.Sc tumpangsari konvensional dan turunannya yang dikembangkan melalui prosperity approach oleh Perhutani sesuai dengan perkembangan sosial kemasyarakatan, dan mengalami masa puncak saat dikembangkan PHBM.
“Sungguhpun ruh tumpangsari sebagai wujud PHBM dalam aplikasinya, tidak mengalami perubahan besar, padahal seharusnya PHBM tidak sekedar bagi hasil akan tetapi lebih dari itu, dengan inovasi teknik silvikultur ia harus ditempatkan sebagai motor penggerak, pendorong kelestarian perusahaan dan sekaligus kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang berkelanjutan,†ujarnya, Kamis (6/3) di ruang Balai Senat UGM.
Dosen Silvikultur Intensif dan Agroforestri, Sambas Sabarnurdin menyampaikan hal itu saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM. Pembantu Dekan II Bidang Administrasi dan Keuangan Fakultas Kehutanan UGM (1991-1994) mengucap pidato “Agroforestri: Strategi Penggunaan Lahan Multi Fungsi, Fleksibel Terhadap Perubahan Tuntutan Pembangunan Berkelanjutanâ€.
Dari tumpangsari konvensional hingga zaman PHBM, kata Sambas, belum mengalami perubahan filosofi yang berarti, belum menempatkan kedua pihak terkait, kehutanan dan petani pada kedudukan yang setara. “Oleh karena itu, kondisi ini kalau tidak segera disadari dan dirubah, akan berpotensi mendorong percepatan peluang kegagalan PHBM,†ujarnya lagi.
Lebih lanjut, Dekan Fakultas Kehutanan UGM peiode 1997-2000 menjelaskan, terkait kerangka PHBM berkelanjutan, maka pembaharuan tumpangsari menjadi keharusan yang mendesak dan perlu didesakkan. Hal itu disebabkan, tumpangsari konvensional dinilai terlalu bias pada kepentingan kehutanan dan menomor duakan kepentingan petani.
Sebagai contoh, adanya larangan terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang sesungguhnya menjadi andalan, serta pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari. “Ini adalah contoh bagaimana kehutanan menempatkan kepentingan petani dan kehutanan pada level yang sama, suatu hal yang berlawanan dengan prinsip agroforestri,†ungkap pria kelahiran Tasikmalaya, 15 November 1945 ini.
Belajar dari permasalahan ini, menurut suami Hj. Retno Andamari, BA, rimbawan harus kembali ke desa dimana agroforestri yang sesungguhnya dipraktekan dan memahami petani sebagai the real land manager. Bahwa, petani telah lama mempraktekkan usaha taninya secara terpadu.
“Mereka telah terbiasa berada dalam suatu kondisi yang mengharuskan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya sepanjang tahun, dengan sekaligus menciptakan lingkungan yang sehat. Dalam mengelola lahannya petani telah mencerna hal-hal yang bermanfaat yang diperolehnya dari rimbawan, ahli pertanian, ahli tanah, dan lain-lain. Singkatnya, petani telah mempraktekkan apa yang kemudian dikenal sebagai agroforestri,†tandas Prof. Sambas, ayah dua anak, kakek satu cucu ini. (Humas UGM).