Secara nasional, luas kakao rakyat di Sulawesi Tenggara menempati urutan kedua setelah Sulawesi Selatan. Meskipun memiliki luas pengusahaan yang besar, namun produktivitas kakao di daerah ini masih rendah, yaitu 854 kg/ha dibanding produktivitas nasional sekitar 930,48 kg/ha. Demikian pernyataan Ir Usman Rianse mengutip data Departemen Pertanian tahun 2002, saat ujian doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin, (16/10).
Dalam kurun waktu 1998 – 2001, kata Usman Rianse, jumlah luas lahan kakao mengalami peningkatan rata-rata 5,21% per tahun, sementara produksi meningkat lebih rendah dari luas lahan, sebesar 1,86% pertahun, sedangkan produktivitas mengalami penurunan rata-rata 5,56% pertahun.
Dari penelitiannya, dosen Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo berkesimpulan bahwa dalam jangka panjang perkembangan luas tanaman kakao di Sulawesi Tenggara telah dipengaruhi beberapa faktor, yaitu jumlah petani, harga input, teknologi dan populasi PBK. Sementara, untuk pengembangan produktivitas usahatani kakao lebih dipengaruhi oleh harga ekspor biji kakao, upah tenaga kerja, nilai tukar dollar, teknologi dan kebijakan HKm.
Lebih lanjut, Usman Rianse mengungkapkan, integrasi tanaman kakao dan cengkeh merupakan pola usahatani yang memberikan keuntungan bagi petani dibanding pola monokultur. Secara ekonomi, telah ditemukan 11 pola usahatani kakao secara terintegrasi.
“Dengan demikian, usahatani kakao dengan aneka tanaman (agroforestri) lebih prospektif daripada usahatani kakao monokultur,†tandas staf peneliti Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Haluoleo.
Pria kelahiran Kafofo 4 Februari 1962 ini, dalam ujiannya dinyatakan berhasil mempertahankan desertasi berjudul “Analisis Produktivitas, Finansial dan Ekonomi Usahatani Kakao Dalam Kawasan Hutan di Sulawesi Tenggaraâ€, sekaligus meraih gelar doktor Bidang Ilmu Pertanian UGM dengan predikat cumlaude. Bertindak selaku promotor Prof Dr Ir Sri Widodo MSc dan ko-promotor Prof Dr Ir Irham MSc serta Dr Ir Slamet Hartono MSc. (Humas UGM).