Dalam beberapa waktu terakhir banyak ditemukan di pasaran peredaran telur ayam fertil yang dijual dengan harga jauh di bawah normal. Telur fertil ini dikenal dengan nama telur HE (hatching egg) yang berasal dari perusahaan pembibitan (breeding).
Lantas apa perbedaan telur ayam HE dengan telur ayam yang dijual di pasaran pada umumnya?
Kepala Laboratorium Ilmu Ternak Unggas Fakultas Peternakan UGM, Dr. Heru Sasongko, menjelaskan telur HE berasal dari perusahaan pembibitan ayam broiler. Telur jenis ini berasal dari telur fertil, tetapi tidak ditetaskan oleh perusahaan pembibitan. Salah satu alasannya karena suplai anak ayam (DOC) yang terlampau banyak di pasaran. Sementara kebutuhan akan daging tidak begitu banyak sehingga telur sengaja tidak ditetaskan.
Dalam kondisi normal, pasokan anak ayam broiler sekitar 60 juta per minggunya untuk seluruh Indonesia. Namun, di situasi saat ini, di tengah pandemi Covid-19 di saat permintaan akan daging ayam menurun signifikan pasokan ayam hanya diangka 40-45 juta per minggunya.
“Ada sekitar 20 jutaan per minggu telur tidak ditetaskan pada kondisi di mana anak ayam tidak laku. Ada yang menjual karena kondisi darurat ini, kalau kondisi normal tidak mungkin tidak ditetaskan karena biaya untuk produksi 1 telur saja sangat mahal,”jelas dosen Fakultas Peternakan UGM ini saat dihubungi Selasa (19/5).
Heru menyampaikan telur kategori ini layak untuk dikonsumsi. Menurutnya, tidak ada perbedaan kualitas antara terlur fertil maupun infertil. Dia mencontohkan seperti pada telur ayam kampung maupun bebek yang juga merupakan telur fertil yang dibuahi. Hanya saja permasalahan terjadi saat telur tersebut dijual di pasaran saat tidak ditetaskan akan mengganggu pasaran telur ayam ras dari peternak layer.
Berbeda pada kasus telur HE yang ditetaskan, namun setelah melalui proses pengecekan embrionya tidak berkembang lalu dikeluarkan dari inkubasi/pengeraman atau disebut telur HE infertil. Telur di kondisi ini tidak layak secara kualitas. Meskipun aman untuk dikonsumsi, tetapi kualitasnya sudah menurun.
“Cirinya putih telurnya sudah tidak kental, kuning telurnya juga sdh tidak kental dan melebar jika dipecah dan aromanya kadang sudah berbeda,”terangnya.
Sementara dari ciri fisik bisa dikenali dengan cara meneropong dengan senter. Rongga udara di dalamnya sudah besar dengan diameter lebih dari 2 cm.
Dia menyebutkan bahwa sebenarnya ada larangan menjual telur HE yang telah diatur melalui peraturan No.32/Permentan/PK.230/2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi. Di dalamnya disebutkan pelaku usaha pembibitan dilarang memperjualbelikan telur tertunas atau berkategori telur fertil.
“Jadi, memang ada SE dari Permentan yang tidak memperbolehkan memperjualbelikan telur fertil ini,” katanya.
Lebih lanjut Heru memaparkan pada telur HE yang tidak ditetaskan, diambil segera setelah proses bertelur, sebenarnya telah terbentuk embrio dalam fase istirahat. Ketika dibiarkan dalam suhu kamar, embrio telur tidak akan berkembang. Sementara saat telur dieramkan atau inkubasi dengan suhu 100 derajat Fahrenheit atau 38 derajat Celcius maka embrio akan berkembang.
“Telur yang baru saja ditelurkan langsung diedarakan, tidak dimasukan mesin tetas itu sudah ada embrio dalam fase tidur. Embrionya nanti akan mati pada penyimpanan 15 hari di suhu kamar dan akan tahan hingga 3 minggu saat disimpan di ruangan dengan suhu sekitar 16 derajat Celcius,”paparnya.
Heru mengimbau masyarakat untuk tidak khawatir secara berlebihan menghadapi peredaran telur fertil ini. Kendati begitu dia menyarankan masyarakat untuk lebih cermat dalam memilih telur yang akan dikonsumsi.
“Dari harga kalau terlalu murah patut diwaspadai telur ada apa-apanya,” ujarnya.
Penulis: Ika