Hampir dua pekan terakhir istilah New Normal menjadi topik pembicaraan banyak kalangan di Indonesia. Meski kasus baru Covid-19 terus bermunculan, nampaknya wacana pemberlakuan New Normal terus menguat. Di sisi lain, tak sedikit pengamat mendesak kepada pemerintah pusat agar tidak tergesa-gesa untuk menerapkan skema New Normal.
Menurut Prof. Irwan Abdullah, Guru Besar Anthropologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM, New Normal paling tidak menyangkut dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, New Normal sebagai pernyataan kebudayaan, artinya adanya Covid-19 ini menghadirkan sebuah pertanyaan besar tentang seberapa kuat kebudayaan Indonesia. Bagaimana nantinya di saat memasuki era New Normal, apakah kebudayaan kita cukup elastis, apakah kebudayaan kita punya resilience cukup kuat sehingga bisa mengiringi atau mendampingi masyarakat masuk era New Normal?
Kedua, New Normal dinilai sebagai preseden kebudayaan. Melalui Covid-19 ini sesungguhnya menjadi sebuah momentum historis karena banyak pihak diajarkan pada sesuatu yang baru.
“Sesuatu yang baru itu, misalnya mudik tidak harus disakralkan namun lebih pada situasional dan fungsional. Juga soal tradisi berkumpul yang sangat kuat,” ujarnya, Jumat (29/5) saat berlangsung UGM Talks bertema Menyiapkan Kenormalan Baru Pasca Pandemi Covid-19, Kelahiran Interaksi sosial dan Budaya Baru.
Sebagai peneliti kebudayaan, ia melihat dari segi kesehatan Covid-19 tidak bisa dilawan karena hingga saat ini vaksin belum ditemukan dan tingkat kematian jelas. Oleh karena itu, jika mau meningkatkan imunitas tubuh jalannya adalah sosial budaya.
“Ada kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat dan keluarga. Di sinilah tantangan sosial budaya untuk mendampingi masyarakat kita untuk kuat masuk ke dalam tahap New Normal,” katanya.
Berbagai fakta empiris dari penelitian yang sedang dilakukan saat ini memperlihatkan satu terinfeksi di rumah maka bisa menghancurkan satu keluarga. Satu orang di desa terkena meskipun baru ODP sudah bisa mengacaukan pertahanan satu desa.
“Desa yang dulu disebut solid dan harmoni runtuh. Itu yang saya bilang tadi terkait seberapa kuat kebudayaan kita. Jadi, kalau hari ini bertanya imunitas tubuh ada pada fondasi kebudayaan, ini yang harus kita bangun kembali,” terangnya.
New Normal adalah tantangan besar. Meski begitu cara menghadapinya diharapkan bisa lebih rileks dan lebih tenang agar imunitas tubuh tetap baik, sebab New Normal membutuhkan mekanisme kultural agar membuat masyarakat cukup siap menghadapi.
“Sudut New Normal harus kita definisikan lebih seksama, jadi New Normal itu bukanlah sesuatu yang normal. Tapi untuk saya itu adalah new “upnornal”. Jadi, new upnormal itu bukan pakai “ab”, abnormal tapi upnormal, kenapa? New Normal yang akan hadir adalah New Upnormal, artinya mainnya di upstream salah satu tandanya hidup kita menjadi terinstrumentalisasi, jadi seperti sekarang ini, kita kuliah dengan Zoom dengan Google Meet, seminar dimana-mana berjalan terus. Semua mulai normal, setiap hari ada seminar itulah New Normal,” jelasnya.
Irwan Abdullah berpandangan normal ke New Normal adalah peradaban baru. Semua sudah tidak pada normal yang lama dan secara alami beradaptasi.
Baginya yang perlu ditekankan pada situasi saat ini adalah bagaimana mengubah krisis dari the loosers menjadi the winners. Dia berharap masyarakat jangan sampai berhenti menjadi the loosers, yang setiap harinya hanya mengeluh, menangis bahkan sampai keinginan bunuh diri dan sebagainya.
“Ini butuh transformasi sosial budaya untuk menjadikan mereka the winners. Karena itu bagaimana mengkalkulasi energi dan potensi daerah-daerah menjadi fighting covid sehingga transformasi dapat tercapai,” imbuhnya.
Najib Azca, Ph.D, dosen Departemen Sosiologi Fisipol UGM, menyatakan dalam krisis selalu ada problem-problem baru dan tantangan baru, tetapi sekaligus menghadirkan kesempatan baru yaitu kesempatan baru untuk melakukan transformasi sosial. Oleh karena itu, jika disikapi secara positif, pandemi Covid-19 menjadi momentum besar bagi bangsa untuk melakukan transformasi besar dengan membangun budaya-budaya baru termasuk disiplin.
“Disiplin-disiplin ini adalah salah satu cara merespons krisis yang awalnya adalah krisis medis berupa pandemi yang kemudian berdampak pada krisis sosial, ekonomi, politik dan lain-lain yang kemudian memaksa kita membangun budaya baru, tradisi baru berupa hidup dengan lebih sehat misalnya atau melakukan kegiatan produktif dengan teknologi,” ucapnya.
Krisis besar berupa pandemi Covid-19 adalah krisis global dan bisa menjadi sebuah momentum untuk transformasi besar. Masyarakat bisa terbiasa hidup lebih sehat dan produktif dengan teknologi, suatu gambaran situasi yang dulu mungkin malas-malasan untuk dilakukan.
“Dulu mungkin penggunaan teknologi sudah tetapi masih ogah-ogahan. Dengan Covid ini sebuah peristiwa yang mendisrupsi kita, rutinitas kita terdisrupsi oleh Covid sehingga untuk survive harus membangun budaya baru, tradisi baru termasuk disiplin baru, dan saya kira disiplin sosial, kesehatan, disiplin produksi yang baru ini sebuah krisis sekaligus kesempatan besar,” ujarnya.
Sementara itu, Novri Susan, Ph.D dari Departemen Sosiologi, Universitas Airlangga menyatakan sistem respons dalam menghadapi pandemi Covid-19 di Indonesia tidak hanya bertumpu bagaimana sistem negara yang bekerja, tetapi ada reprositas atau timbal balik dengan masyarakat. Kuncinya, menurutnya ada pada timbal balik dan itu menjadi bagian dari konteks negara demokrasi yaitu masyarakat berpartisipasi baik partisipasi publik maupun partisipasi pengorganisasian.
Terkait kenormalan baru, ia mengatakan hal itu suatu proses konstruksi sosial, sebuah proses penciptaan katup penyelamat yang mau tidak mau harus dilakukan. Meskipun konstruksi dan dialektikanya saat ini sedang berjalan.
“Kenormalan baru ini konteksnya seperti apa sih, mestinya ada norma umum yang isinya protokol kesehatan, semua harus mengikuti dan norma khusus seperti area publik, pendidikan dan lain-lain,” katanya.
Bagi Novri di era kenormalan baru yang perlu diperhatikan adalah membangun struktur pengetahuan dan kesadaran. Individu memiliki pengalaman soal kedisiplinan-kedisiplinan dan mereka tahu ketaatan menciptakan keselamatan.
“Bagaimana kemudian setelah pengetahuan itu terbentuk muncul untuk melakukan tindakan,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho