Pengguna media sosial atau netizen kecewa atas inkonsistensi dan lemahnya koordinasi pemerintah dalam menangani Covid-19. Ditambah lagi dengan ketidakpatuhan sebagian masyarakat terhadap protokol kesehatan
Hal tersebut terekam dalam temuan Research Centre for Politics and Government Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Melalui Laboratorium Big Data Analytics, PolGov DPP UGM menganalisis perbincangan pada platform Twitter selama 14-18 Mei 2020.
Peneliti PolGov UGM, Wegik Prasetyo, mengatakan dua persoalan tersebut menjadi pemantik kekecewaan sebagain besar tenaga medis. Mereka memandang kerja keras yang telah dilakukan selama ini dalam menanggulangi Covid-19 tidak diikuti dengan komitmen, kedisiplinan, dan konsistensi pemerintah dan sebagian masyarakat.
“Kekecewaan para tenaga medis yang dieskpresikan melalui media sosial di Bulan Mei 2020 diamplifikasi oleh pubik melalui tagar #indonesiaterserah dan #terserahindonesia,” jelasnya saat merilis hasil riset belum lama ini.
Wegik menyebutkan perbincangan yang ada bisa diinterpretasikan sebagai gambaran problem kepercayaan publik dan sinisme terhadap pemerintah atas penanganan Covid-19 di Indonesia yang dianggap tidak konsisten. Berikutnya, kecemasan publik terhadap arah perkembangan perilaku masyarakat yang mulai mengabaikan protokol kesehatan yang ada.
Publik di media sosial Twitter menunjukkan berbagai contoh inkonsistensi kebijakan serta tidak sinkronnya antar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Salah satunya terkait penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang seringkali dianggap tidak selaras dengan kebijakan lain, seperti kebijakan terkait dengan mudik, transportasi, pelarangan kerumunan warga, dan lain sebagainya.
Percakapan dengan tagar #indonesiaterserah dan #terserahindonesia pertama kali muncul pada Kamis, 14 Mei 2020 sebagai bentuk respons atas pembukaan penerbangan domestik yang berujung pada menumpuknya antrian calon penumpang di Bandara Soekarno Hatta. Antrian yang padat ini dianggap mengabaikan protokol kesehatan. Perbincangan di Twitter terlihat bahwa kejadian di bandara Soekarno Hatta tidak selaras dengan kebijakan pembatasan transportasi darat antar provinsi terutama di pulau Jawa. Inkonsistensi kebijakan tersebut menimbulkan celah yang dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk tidak mematuhi protokol kesehatan.
“Keprihatinan dan kekecewaan publik ini tergambar dalam ekskalasi frekuensi kicauan pada Jumat, 15 Mei 2020 yang mencapai 3.758. Tagar #indonesiaterserah dan #terserahindonesia yang sempat menjadi topik tren di media sosial twitter,” tuturnya.
Analisis kedua tagar tersebut selama 14-18 Mei 2020 berhasil merekam total 10.581 kicauan. Sebagian besar twit teridentifikasi lokasinya dengan lima provinsi di Jawa menduduki peringkat teratas, yakni Jawa Barat (650 twit), Jawa Timur (590 kicauan), DKI Jakarta (570 kicauan), Jawa Tengah (420 kicauan), Yogyakarta (350 kicauan) dan disusul Banten (100 kicauan).
Wegik menyampaikan bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintah memainkan peran penting agar kebijakan yang diambil terkait dengan penanganan Covid-19 mendapatkan dukungan yang luas. Konsistensi dalam prinsip dasar dan sinkronisasi antar kebijakan dalam penanganan Covid-19 serta dukungan publik yang kuat dibayangkan akan membantu meningkatkan efektivitas dalam menekan dan memutus rantai penyebaran COVID-19.
Sebaliknya, inkonsistensi dan kegagalan dalam sinkronisasi antar kebijakan dan antar elemen pemerintahan tidak hanya memperlama masa pandemi. Hal ini justru berpotensi memperdalam krisis ekonomi dan kesehatan.
Berdasar hasil riset tersebut, PolGov UGM mengusulkan sejumlah rekomendasi untuk memperkuat kepercayaan publik. Pertama, pemerintah perlu merespons kritik publik dengan menghasilkan kebijakan yang terintegrasi, terarah dan konsisten terhadap prinsip-prinsip dasar tertentu. Karena itu diperlukan satu peraturan pokok yang menjadi landasan dasar dalam penanganan Covid-19. Peraturan pokok ini meletakkan prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan bagi seluruh aturan turunan maupun aturan sektoral.
“Prinsip ini misalnya menyangkut keterbukaan, partisipasi publik, koordinasi, dan kebijakan berbasis data,”ujarnya.
Kedua, perlunya ruang yang fleksibel untuk evaluasi kebijakan tetap harus dibuka sehingga pemerintah bisa adaptif terhadap perkembangan terbaru. Hal ini dibutuhkan mengingat problem yang dibawa oleh pandemi Covid-19 sangat kompleks. Meski ruang adaptasi kebijakan dibuka, namun prinsip-prinsip dasar yang ada tetap harus dipegang.
Ketiga, perlu adaptasi kebijakan terhadap perkembangan yang ada harus didasarkan pada data yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.
“Perubahan kebijakan yang ada juga perlu dikomunikasikan secara luas dan kontinu dengan argumen yang mudah dipahami publik,”pungkasnya.
Penulis: Ika
Foto: twitter.com/helwatshlhh