Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM menggelar diskusi kebencanaan secara daring pada Kamis (4/6). Tema yang diangkat dalam diskusi kebencanaan kali ini adalah “Refleksi Gempa Bumi Yogyakarta 2006”. Hal ini sekaligus memperingati 14 tahun bencana tersebut.
Dr. Gayatri Indah Marliyani, ST. M.Sc., Ahli Kegempaan Teknik Geologi UGM, menyampaikan banyak hal yang dapat dipelajari dari gempa 14 tahun lalu itu. Gempa yang terjadi pagi hari tanggal 27 Mei 2006 itu memiliki magnitude sebesar M6.3. Kekuatan dengan skala itu pada umumnya tidak terlalu menyebabkan kerusakan fatal.
Akan tetapi, pada kenyataannya gempa tersebut berdampak besar dengan banyaknya kerusakan yang ditimbulkan di hampir semua kawasan DIY serta jatuhnya 6.000 korban jiwa. Gayatri mengatakan hal itu disebabkan sumber serta kedalaman dari gempa yang dangkal. “Sumber gempa berada di daratan di Sesar Opak yang berada di sebelah timur kota Yogyakarta, memanjang dari Prambanan hingga sisi timur pantai Parangtritis. Sesar ini tidak secara langsung beada pada batas zona subduksi akan tetapi pembentukannya masih berkaitan dengan proses subduksi lempeng samudera di bawah lempeng benua di selatan Jawa. Kedalamannya hanya 12,5 km di bawah tanah sehingga mengakibatkan efek goncangan cukup besar, mencapai sekitar VI-VII MMI,”ungkapnya.
Gayatri menyebutkan kondisi permukaan tanah Yogyakarta juga memengaruhi dampak kerusakan akibat gempa tersebut. Ia menunjukkan area Yogyakarta ini berada dalam sebuah cekungan yang dibatasi oleh Pegunungan Kulon Progo di sisi barat dan Pegununungan Selatan di sisi timur. Aea ini disebut sebagai Cekungan Yogyakarta.
Namun, cekungan tersebut menurut Gayatri kini telah diisi oleh endapan lepas berupa pasir dan batuan yang berasal dari letusan Gunung Merapi. Kedalaman sedimen lepas ini kurang lebih 50 meter. “Ketika gempa terjadi endapan lepas tersebut menyebabkan terjadinya amplifikasi gelombang gempa sehingga menyebabkan permukaan di atasnya mengalami goncangan keras dan hasilnya adalah tingginya kerusakan yang terjadi pada tahun 2006 lalu,” paparnya.
Waktu itu tidak ada seorangpun yang menyangka akan terjadi gempa bumi tektonik yang bukan akibat gunung Merapi dengan kekuatan sebesar itu. Kajian geologis kala itu belum mampu mengidentifikasi keberadaan sesar yang kini disebut sebagai Sesar Opak ini sehingga gempa yang terjadi waktu itu tidak terduga.
“Setelah terjadi gempa 2006 itu, para akademisi mulai gencar meneliti kembali kondisi geologis daerah Yogyakarta ini. Pencarian literatur kajian lama juga dilakukan yang akhirnya ditemukan bahwa gempa 2006 ini bukanlah gempa pertama yang terjadi di daerah Yogyakarta berdasarkan tulisan dari seorang penelti asal Belanda. Sudah puluhan kali terjadi gempa dengan skala yang beragam selama kurun 200 tahun di Jawa. Salah satunya gempa besar yang terjadi pada tahun 1867 di sepanjang Sesa Opak yang menyebabkan efek goncangan mencapai VIII MMI,” ungkapnya.
Dari kondisi tersebut Gayatri menilai sudah seharusnya Pemprop DIY memperkuat diri sebagai area tangguh bencana terutama terkait perancangan bangunan yang tahan gempa. Hal tersebut mengingat masih aktifnya Sesar Opak serta sesar-sesar lain yang berpotensi menyebabkan gempa.
“Penelitian terkait sumber gempa maupun yang belum diketahui harus terus dilakukan secara sinergis antar stakeholder sebagai langkah antisipasi. Walaupun kita tidak tahu kapan gempa akan datang karena memang belum ada alat yang mampu mendeteksinya. Namun, melihat lokasi masyarakat yang berada di lokasi rawan gempa, kita bisa mempersiapkannya dari membuat bangunan tahan gempa. Gempa tidak membunuh manusia, korban jatuh karena bangunan yang tidak tahan gempa,” pungkasnya.
Selain Gayatri, diskusi juga menghadirkan Dr. Djati Mardiatno, S.Si., M.Si., Peneliti PSBA UGM. Ia memaparkan tentang desa binaan PSBA UGM di Klaten, yakni Desa Sengon, yang diinisiasi sejak tahun 2018 untuk menjadi Desa Tangguh Bencana Gempa Bumi. Ia menyebut desa ini dulunya merupakan salah satu desa terdampak gempa 2006. Kini desa tersebut telah tergolong sebagai Desa Tangguh Bencana kategori Pratama. Harapannya di tahun terakhir pembinaan ini, desa tersebut bisa meningkat ke kategori Madya, atau bahkan Utama.
Penulis: Hakam
Foto: Kompas.com