![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2020/06/1506201592211811800176542-825x475.jpeg)
Fakultas Hukum UGM dengan dukungan dari Departemen Hukum Agraria dan Lingkungan menggelar diskusi daring bertajuk “Menyoal Jangka Waktu HGU 90 Tahun dalam RUU Cipta Kerja”. Diskusi ini diselenggarakan melalui platform Zoom pada Sabtu (13/6) siang lalu dan juga disiarkan melalui saluran Youtube Unit Riset dan Publikasi FH UGM.
Diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber yang terkait topik ini. Mereka adalah Dr. Andi Tenrisau, S.H., M.Hum. (Staf Ahli Menteri BPN Bidang Landreform dan Hak Masyarakat atas Tanah), Ir. Joko Supriyono (Ketum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), Dewi Kartika (Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria), Arteria Dahlan, S.T., S.H., M.H. (Komisi III DPR RI/Anggota Panja RUU Cipta Kerja), dan Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono S.H., M.C.L., M.P.A. (Guru Besar FH UGM).
Maria dalam pemaparannya mempertanyakan landasan usulan jangka waktu 90 tahun untuk HGU ini. Ia memaparkan jika meruntut dasar hukum pertanahan dan pemodalan yang ada di Indonesia sejak kemerdekaan hingga sekarang, tidak ada yang mengatur jangka waktu selama itu.
“Dari Hukum Agraria Kolonial, UUPA (UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), hingga peraturan-peraturan tambahan terkait perizinan pertanahan, tidak ada yang mengatur jangka waktu selama itu. Jangka waktu HGU bisa mencapai 75 tahun, itupun secara kumulatif dengan adanya proses evaluasi untuk perpanjangan dan pembaharuan kontrak,” terangnya.
Lebih lanjut, Maria menjelaskan bahwa pemberian HGU dalam jangka waktu 90 tahun ini bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hal ini sebagaimana telah diputuskan oleh MK dalam putusan No. 21-22/PUU-V/2007.
“Sesuai putusan tersebut, terdapat filosofi ‘negara menguasai sumber daya agraria’. Tujuannya adalah untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, seberapa jauh rakyat dapat mengambil manfaat dari penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria itu,” paparnya.
Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., Dekan FH UGM, menyampaikan dalam menentukkan kebijakan agraria semacam ini perlu mempertimbangkan berbagai aspek. Hal itu meliputi aspek legal, ekonomi, sosio-kultural, tata kota, dan lain sebagainya. Kesemua aspek tersebut, menurutnya, haruslah ditilik secara holistik tidak bisa serampangan.
Sigit menilai isu ini termasuk rawan dengan berbagai kepentingan. Namun, ia mempercayai bahwa tiap pihak sebenarnya punya niat baik dengan kepentingan tersebut demi bangsa ini. “Saya harap dengan diskusi dapat menjadi pengayaan bagi pesertanya. Kemudian hasilnya dapat juga dijadikan masukan untuk pengambil kebijakan. Tujuannya kita niati untuk berkontribusi bagi bangsa dan negara Indonesia ini,” pungkasnya.
Penulis: Hakam
Foto: Finance.detik.com