Secara akademik, kajian tentang bencana masih sangat langka dan miskin. Selalu saja, sebuah bencana dianggap sebagai pengalaman baru, sebagai sesuatu yang belum terjadi sebelumnya, sehingga ditanggapi sebagai sesuatu yang belum menjadi pengetahuan dan pengalaman kolektif, sehingga belum mengalami integrasi dalam kehidupan dan kebijakan social.
Demikian disampaikan Prof Dr Irwan Abdullah, saat mengucap pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, di Balai Senat UGM, Senin, (13/11).
Dalam pidato berjudul “Dialektika Natur, Kultur Dan Struktur : Analisis Konteks, Proses, Dan Ranah Dalam Konstruksi Bencanaâ€, kata Prof Irwan, banyak contoh menunjukkan bahwa bencana bukan barang baru. Ia, sesungguhnya telah menjadi bagian dari “pengalaman dekat†bagi banyak orang, dibanyak tempat, dalam periode waktu yang berlainan.
“Seorang Letnan Belanda bernama Heintzen, misalnya, pernah menyaksikan langsung bencana besar yang terjadi di Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada tanggal 29 Desember 1820,†ujar pria kelahiran Aceh Utara, 8 September 1963.
Di tingkat pemerintahan, kata Pak Irwan, belum terdapat concern penggunaan catatan histori tentang bencana sebagai basis pengambilan kebijakan. Baginya, bencana bukanlah peristiwa abnormal. Ia tetap dipandang, sebagai bagian pengalaman yang dekat dengan kehidupan manusia.
“Sedemikian dekat, sehingga kita harus siap setiap saat, merespon bagi perbaikan-perbaikan. Mulai dari mengidentifikasi daerah-daerah bencana di Indonesia, kapan terjadi, kemudian mempelajari sebab-sebab bencana, juga akibatnya. Dari situ tentunya akan keluar kebijakan-kebijakan tertentu,†tambah suami Etty Susilawati, ayah tiga putra. (Humas UGM).