Wacana Iklan Komersial (WIK) di TV dinilai efektif. Jika, dibanding iklan di media lain, WIK di TV memiliki beberapa kelebihan, diantaranya : (i) sifatnya yang audiovisual, (ii) adanya jingle dan sound track, (iii) diperagakan oleh bintang iklan (model iklan) dan (iv) cara-cara penyampaian pesan yang sangat bervariasi.
Demikian salah satu simpulan hasil penelitian Drs B Wahyudi Joko Santoso M Hum, terhadap 70 responden di kalangan dosen, karyawan dan mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES). Staf pengajar Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan Seni UNNES mengutarakan simpulan tersebut, saat ujian doktor bidang ilmu linguistik, di Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis, (16/11).
“Dengan demikian, fungsi konatif, berupa fungsi komunikasi bahasa yang berpusat pada addressee cukup ampuh dan mengena di hati sebagian besar pemirsa yang menjadi responden penelitian ini, dan sangat dimungkinkan dirasakan pula sebagian pemirsa TV di Indonesia,†ujar Wahyudi Joko Santoso.
Sebagai salah satu jenis (genre) wacana bisnis, promovendus juga menyimpulkan, jika WIK di TV memiliki ciri-ciri iklan yang kreatif, persuasif, provokatif, massal, nonpersonal dan tidak langsung. Sehingga, ia tidak hanya sekedar memberi informasi komersial, namun lebih menjual, yaitu dengan cara mengusik emosi dan pikiran pemirsa baik secara verbal maupun nonverbal, baik langsung maupun tidak langsung dengan disertai janji-janji.
Lebih lanjut, Ketua Bidang Penalaran Asosiasi Perhimpunan Pengajar Bahasa Perancis di Indonesia ini, mengatakan, bahwa eksistensi iklan ditelevisi, di satu sisi memberi informasi dan hiburan, di sisi lain iklan TV memberi dampak negatif, seperti pengaruh perubahan pola pikir, sikap dan perilaku. Oleh karena itu, Wahyudi Joko Santoso menyarankan, agar masyarakat jangan mudah termakan iklan, karena realitas sosial dalam iklan berbanding terbalik dengan realitas kemasyarakatan.
“Artinya apa, yang dijanjikan tidak sama dengan realita di lapangan. Misalnya, iklan pemutih wajah, hampir tidak mungkin diterapkan pada wajah seseorang yang coklat apalagi hitam. Toh kalaupun bisa, meski berhati-hati karena dampak negatifnya. Karena iklan tidak sekedar menawarkan barang/jasa, namun juga menjual janji dan mimpi-mimpi yang belum tentu sesuai pemirsa,†tambah dosen linguistik dan bahasa Perancis UNNES dalam pesannya.
Setelah mempertahankan desertasi berjudul “Wacana Iklan Komersial Berbahasa Indonesia di Televisiâ€, pria kelahiran Klaten 26 oktober 1961 ini, dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan, sekaligus menjadi doktor ke-778 yang diluluskan UGM. (Humas UGM).