Secara prinsip dan filosofi pengelolaan ekosistem pada ujungnya pada pengelolaan aktivitas manusia. Sebab, jika manusia dapat dikelola dengan baik beserta aktivitasnya maka pemanfaatan ekosistem dapat dikendalikan dengan baik.
“Hanya saja di kita ini justru mengelola manusianya yang menjadi sumber permasalahan,”ujar Prof. Dr. Suharsono, ahli terumbu karang LIPI pada BioTalks #2 Pengelolaan Kekayaan Hayati dan Ekosistem Indonesia Pasca Covid-19, Kamis (25/6).
Menurut Suharsono menjaga ekosistem selain dituntut pada pengelolaan aktivitas manusianya, ia juga tidak lepas dari ancaman dari perubahan iklim. Ancaman perubahan iklim ini cukup berat terhadap keberadaan ekosistem saat ini.
“Hanya saja jika itu bersifat natural maka biasanya perubahan yang disebabkan oleh natural menjadikan struktur komunitas dan ekologinya akan kembali seperti semula,” katanya.
Sangat berbeda jika perubahan tersebut disebabkan oleh aktivitas manusia karena dipastikan tidak akan kembali pada posisi semula. Bahkan, bisa-bisa memunculkan posisi yang lain.
Dengan demikian, ada hikmah di balik Covid-19. Dari aspek biologi atau ekologi maka adanya Covid-19 pengelolaan dan pengendalian aktivitas manusia menjadi otomatis. Semua terhenti, begitu pula aktivitas penangkapan ikan dan aktivitas penangkapan ikan yang merusak di laut menjadi turun drastis.
“Ini tentunya memberi kesempatan ekosistem untuk pulih kembali. Aktivitas menurun justru menjadikan kondisi lebih baik, seperti Jakarta langitnya pun menjadi membaik karena aktivitas kendaraan dan pabrik otomatis terhenti,” ucapnya.
Menurutnya, strategi pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistem saat ini menuntut partisipasi aktif dalam penyediaan data informasi untuk pengelolaan daerah konservasi. Untuk itu, dalam upaya meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia di daerah perlu dilakukan diklat terencana dan melalui uji kompetensi.
“Diharapkan ada dorongan pengelolaan mandiri ekosistem pesisir oleh penduduk lokal melalui kerja sama Pemda, NGO dan universitas,” tuturnya.
Selain itu, ada upaya mendorong dan mendukung pemenuhan persyaratan, legalitas komoditas ekonomi tinggi. Dengan cara-cara ini banyak pihak tentu bisa memanfaatkan keberadaan biodiversity di Indonesia.
“Biota kita kan banyak, kalau kita mampu mendorong memenuhi persyaratan internasional, misal biota-biota yang masuk dalam site test, misal ada karang, ikan napoleon, teripang, seperti mendorong keberlangsungannya seperti apa, terus keterterlusurannya kayak apa, maka ikan-ikan tersebut tentunya mampu memberi devisa tinggi karena harga-harganya memang sangat tinggi,” jelasnya.
Prof. Dr. EKS Harini Muntasib, MS, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, menyatakan pandemi Covid- 19 dan kekayaan hayati di hutan telah terjadi disrupsi berupa campur tangan dan mengganggu dari sisi ekologi alam. Covid-19 terjadi karena meningkatnya interaksi manusia dengan satwa liar sehingga virus menyebar luas sehingga terjadi pandemi.
“Dengan Covid-19 interaksi antar manusia dengan satwa liar pun akhirnya juga menurun. Bagaimana setelah pandemi Covid-19 ini kemudian bisa memanfaatkan kekayaan hayati dengan lebih bijak,” ujarnya.
Harini menandaskan tata kelola hayati merupakan suatu mekanisme untuk berjalannya organisasi dan hubungan kelembagaan kekayaan hayati. Aspek kelestarian kekayaan hayati dan habitatnya diharapkan terjaga sesuai dengan mandat konservasi kekayaan hayati.
“Aspek pemanfaatan, kekayaan hayati dapat dioptimalkan, masyarakat sekitar serta pemerintah bisa mendapat keuntungan sekaligus bertanggung jawab terhadap pelestariannya,” tandasnya.
Menurutnya, pemerintah termasuk pemda, masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi, dan swasta diharapkan mampu membangun kesepakatan bersama soal konsep tata kelola kekayaan hayati berbasis ekosistem. Meski tidak harus formal, tetapi basisnya tetap pada ekosistem.
“Diharapkan semua pihak bisa menyatukan persepsi dengan target ekosistem terpelihara dan membuat indikator-indikatornya. Tentu saja indikator di hutan karena kajian saya di hutan. Pemerintah pusat dan daerah, tidak hanya membuat aturan, namun juga bisa memberikan penghargaan jika pengelolaan ini baik,” imbuhnya.
Prof. Dr. Suwarno Hadisusanto, guru besar Fakultas Biologi UGM, menambahkan bagaimana mengantisipasi pasca Covid ini untuk suasana yang lebih baik lagi. Kadangkala pemerintah daerah beranggapan hutan itu lebih berharga daripada danau, padahal bagaimanapun danau itu juga harus dipertahankan.
“Jadi, meskipun hutan menghasilkan kayu dengan harga yang tinggi sekali, tapi yang namanya badan air harus tetap dipertahankan, apalagi beberapa danau di Indonesia memiliki spesies endemik yang special”,” katanya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Brilio