![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2020/06/30062015934866051213322691-680x510.jpg)
Pandemi Covid-19 membawa dampak terhadap berbagai sektor, termasuk terhadap ketahanan pangan. Menteri Pertanian , Dr. Syahrul Yasin Limpo, S.H., M.Si., M.H., mengatakan pemerintah memerlukan dukungan dari akademisi untuk merumuskan langkah-langkah penting yang perlu diambil untuk memastikan sektor pertanian tetap berjalan di tengah pandemi dan ketersediaan pangan dalam negeri terjamin.
“Kementerian Pertanian tidak bisa bekerja sendirian, kami butuh sekali masukan dari profesor-profesor yang ada di UGM ini. Bapak rumuskan, saya siap bekerja,” ucapnya kepada Rektor UGM, Senin (29/6).
Hal ini ia sampaikan saat mengikuti Webinar Nasional bertajuk “Pangan di Era New Normal: Pengembangan Riset Teknologi Pangan Berbasis Potensi Lokal di Masa dan Pasca Pandemi Covid-19” yang digelar Fakultas Teknologi Pertanian UGM bekerja sama dengan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Pusat dan PATPI Cabang Yogyakarta.
Syahrul mengutarakan di masa pandemi ini dibutuhkan keberpihakan dari semua pihak untuk menyiapkan kebutuhan pangan rakyat, terutama mengingat adanya peringatan dari organisasi pangan dunia (FAO) akan kemungkinan terjadinya krisis pangan dunia.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, ia menyebut sejumlah agenda yang harus sama-sama dilakukan, di antaranya menerapkan pola pikir baru terhadap tatanan kenormalan baru yang dikaitkan dengan isu ketahanan pangan, serta melakukan pendekatan manajemen baru yang sesuai dengan kondisi saat ini.
“Ini adalah agenda intelektual, dan butuh diskusi antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk turun dari awal. Kebijakan publik hanya baik jika didukung oleh diskusi demi diskusi,” ucapnya.
Dalam webinar ini ia memaparkan prognosa produksi dan kebutuhan beras nasional tahun 2020, yang hingga Agustus mendatang diperkirakan memiliki stok akhir sebesar 8.742.222 ton. Sementara itu, pada periode September – Desember, perkiraan produksi sebesar 7.360.034 ton dan kebutuhan 9.989.140 ton sehingga pada akhir tahun stok akhir diperkirakan masih ada sejumlah 6.113.117 ton.
Program peningkatan ketersediaan pangan di era kenormalan baru sendiri meliputi peningkatan kapasitas produksi, diversifikasi pangan lokal, penguatan cadangan dan sistem logistik pangan, serta pengembangan pertanian modern.
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, dr. Kirana Pritasari, menyampaikan gambaran kondisi gizi di Indonesia yang masih mengalami triple burden permasalahan gizi, yaitu malnutrisi, obesitas, serta wasting. Salah satu indikator yang dinilai mengkhawatirkan adalah tingkat stunting yang mencapai 30,8 persen di tahun 2018 dan turun menjadi 27,67 persen di tahun 2019.
“Walaupun mengalami penurunan, tapi 27 persen merupakan jumlah yang cukup besar dari total jumlah balita Indonesia,” kata Kirana.
Masa pandemi yang mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat terutama daya beli terhadap kebutuhan pangan, ucapnya, berdampak pada terganggunya ketersediaan pangan di rumah tangga baik secara kuantitas maupun kualitas. Padahal, data sebelum pandemi menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia belum memenuhi gizi seimbang karena konsumsi pangan hewani, buah, dan sayur yang terbilang masih rendah.
Menurutnya, konsumsi pangan fungsional dapat menjadi bagian dari pola konsumsi sehari-hari yang bergizi seimbang. Pangan lokal seperti ikan peda, jahe, oncom, dan lainnya, terangnya, memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai sumber pangan fungsional.
“Kita perlu menggali potensi makanan lokal Indonesia. Salah satu jenis makanan lokal adalah ikan peda yang merupakan hasil fermentasi ikan yang kaya asam lemak tak jenuh yang dapat meningkatkan antibodi,” jelasnya.
Penulis: Gloria