Saat kondisi pandemi Covid-19 yang mulai mewabah, Rimawan Pradiptyo, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, tergerak hati untuk melakukan sesuatu. Ia tak mau berdiam diri atau sekadar bekerja dari di umah di awal-awal masa pandemi Covid-19.
Terlontar dalam benaknya membuat gerakan kemanusiaan bersama teman-temannya. Menurutnya, tidak ada negara yang siap menghadapi pandemi Covid-19, bagaimana penularan begitu cepat, sulit terobservasi mata, dan karakteristiknya yang tidak menentu.
Ia pun lantas berkeinginan membuat sebuah gerakan yang bernamakan Sambatan Jogja ( Sonjo). Sebuah gerakan kemanusiaan yang fokus pada upaya membantu masyarakat rentan dan berisiko terkena dampak penyebaran Covid-19.
“Sonjo ini gerakan menggunakan whatsapp group (WAG) sebagai media utama dalam berkoordinasi melakukan berbagai program,” katanya, Sabtu (4/7).
Rimawan menjelaskan masa pandemi Covid-19 menjadikan pasar fisik mendadak menghilang. Karena work from home (WFH) dan physical distancing tidak ada pertemuan antara penjual dan pembeli.
“Pasar daring yang semula tidak ada mendadak muncul dengan adanya WAG SONJO ini. Demand dan supply pangan, demand dan supply alkes dan berbagai masalah di lapangan pun mudah dipecahkan bersama,” katanya.
Melalui WAG Sonjo bisa membantu menyelesaikan berbagai masalah sekaligus mampu mempertemukan para pihak yang membutuhkan bantuan dan para pihak yang ingin menyalurkan bantuan. Disini tidak ada uang sama sekali, bahkan ada larangan memasang iklan atau apapun yang mencantumkan nomor rekening.
Demand di sini meliputi rumah sakit, tenaga kesehatan, LSM, akademisi, pengusaha, kelompok masyarakat dan lain-lain. Sementara supply yakni akademisi, pengusaha, LSM, UMKM, kelompok masyarakat, LAZ, BUMN, BUMD, dan lain-lain.
“Dalam Sonjo terjadi interaksi antara demand dan supply, masalah pun bisa diatasi. Sebenarnya ini upaya menciptakan pasar tapi pasar bantuan dan yang mau dibantu. Misal ada yang memerlukan bantuan APD kemudian ditanggapi di grup, belum lama ini ada pihak dari Australia menawarkan bantuan ventilator, saya tawarkan di grup ternyata langsung direspons,” ucapnya.
Rimawan mengaku tidak memiliki program yang muluk-muluk ketika mendirikan Sonjo. Baginya yang terpenting tiap hari ada target berupa perubahan kecil yang bisa dilakukan agar bisa membantu masyarakat untuk bertahan hidup.
“Jangan pernah berhenti, setiap kali kita bisa melakukan perubahan kecil di akhir hari harus kita syukuri, lalu tidur, dan keesokan harinya kita mencoba lagi melakukan perubahan kecil entah membantu menyalurkan alat kesehatan dan lain-lain,” terangnya.
Meski pemerintah telah menganggarkan 405 triliun rupiah untuk menanggulangi Covid-19 beserta upaya pemulihannya, tetapi perang melawan Covid-19 tidak bisa diserahkan seluruhnya sebagai tanggung jawab pemerintah. Seluruh elemen masyarakat harus bekerja sama dengan pemerintah, baik di pusat dan di daerah, untuk menanggulangi dampak pandemi ini.
“Sonjo berdiri 24 Maret 2020 berkembang sangat cepat. Pada tanggal 17 April 2020 sudah terbentuk 7 WAG yang fokus pada bidang tertentu, kemudian tanggal 22 Juni 2020 terbentuk lagi 2 WAG, total menjadi 9 grup dan anggota mencapai 500 lebih yang fokus di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain,” paparnya.
Kesembilan WAG yang dibuat tentu sesuai dengan tema masing-masing. Pertama, Sonjo headquarter (HQ). Di grup ini menampung semua anggota grub Sonjo. Kedua ada Sonjo Database. Grup ini merupakan pusat admin dan database untuk mendukung gerakan Sonjo.
“Data base demand dan supply mengidentifikasi masalah dan diskusi di WAG dibuat catatan yang di-update setiap malam. Mengisi form di Google sheet untuk mengidentifikasi berbagai program kegiatan para pihak dan kebutuhan terhadap bantuan dari para pihak,” ujarnya.
Ketiga ada Sonjo Pangan. Di grup ini fokus pada upaya mengatasi masalah pemenuhan atau kebutuhan pangan di DIY. Utamanya mempertemukan semisal dari UMKM.
Keempat Sonjo Inovasi, grup ini fokus pada upaya membangun prototipe alkes yang sebelumnya harus diimpor agar bisa diproduksi di dalam negeri. Dalam grup ini berkumpul mereka yang berasal dari Fakultas Kedokteran, Fakultas Farmasi, Teknik dan MIPA untuk bersatu lalu kemudian memikirkan alat apa yang harus diproduksi sehingga dibuat inovasinya dalam jangka pendek.
“Grub Sonjo Inovasi lebih banyak pada kebutuhan alkes yang diperlukan untuk dibuatkan prototipe dan juga temuan teknologi apa yang sudah ada di UGM. Ini ada orang yang mengoordinasikan para tukang jahit di rumah, buat APD, bahkan para inovator di UGM juga ikut. Ada yang membuat head shield dan lain-lain,” ungkapnya.
Kelima ada Sonjo Legawa, grup ini fokus mengorganisasi lembaga-lembaga sosial untuk mengoptimalkan penyaluran bantuan kemanusiaan. Di sini merupakan kumpulan dari lembaga- lembaga kemanusiaan.
“Bukan untuk menggalang dana, kita tidak menyalurkan, hanya kalau ada yang menyalurkan mohon untuk bisa menjelaskan telah disalurkan kemana saja, kapan dan kepada siapa saja bentuknya apa sehingga jangan sampai terjadi tumpang tindih, jangan sampai tidak merata. Sementara grup yang relatif baru Sonjo Media dan Sonjo Pembelajaran,” jelasnya.
Rimawan berpendapat Sonjo idealnya diterapkan pada lingkungan yang terbatas atau lingkup kecil seperti rukun warga (RW), kampung, kecamatan, kabupaten atau beberapa kabupaten, semisal seperti di DIY. DIY ideal untuk Sonjo karena hanya terdiri dari 5 kabupaten, sementara untuk lebih luas lagi maka koordinasi di Sonjo akan jauh lebih kompleks.
“Jika di satu RW ada 150-200 KK, pastilah ada demand dan supply untuk berbagai keperluan sehari-hari. Idealnya seperti itu, meski begitu Sonjo ini bisa dibuat di daerah lain di luar DIY sesuai karakter masing-masing,” imbuhnya.
Sekali lagi, Rimawan menegaskan bahwa Sonjo ada untuk membantu kelompok rentan sekaligus untuk menghindari tumpang tindih bantuan, semisal soal sembako dan alkes yang kadang muncul.
“Maka diskusi-diskusi sering mengarah pada inovasi alkes. Database Pangan atau saat ramadan kemarin dengan cara ngabuburit kemudian ada Etalase Pasar Sonjo (EPS) yang membantu siapa saja yang akan menawarkan barang, kelompok ini semakin luas dan terbuka untuk semua UMK dan kelompok difabel,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto: Pikiran-rakyat.com