Nuansa tekanan internasional terhadap lokalisasi norma yang didorong oleh World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control (WHO-FCTC) sangat dominan dalam regulasi Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia. Domestikasinya kini tengah diperdebatkan terkait kebijakan restriktif terhadap IHT melalui branding restriction dalam PP No.109 tahun 2012 yang diwacanakan akan diperluas cakupan restriksinya.
Demikian disampaikan Dr. Maharani Hapsari, MA, Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM dan Co Chair-Holder WTO Chairs Programme, pada seminar “Menilik Arah Kenormalan Baru Regulasi Industri Hasil Tembakau”. Dalam webinar yang berlangsung pada Selasa (23/6), ia menyampaikan hasil riset PSPD UGM tentang Kebijakan Branding Restriction di Indonesia pada 2019.
Hadir dalam acara tersebut antara lain, Direktur Teknis dan Fasilitasi Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto, S.E, M.Si., Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, Henry Najoan, dan Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Sudarto.
Menurut Maharani penelitian PSPD UGM menemukan kesenjangan prosedural dalam kebijakan restriktif terhadap IHT yang berimplikasi pada diabaikannya basis partisipasi dan representasi pemangku kepentingan di rantai pasok komoditas (petani, industri, buruh dan penerima manfaat ekonomi turunan IHT). Kebijakan yang prosesnya cenderung tertutup, menyebabkan tidak terpenuhinya asas keterbukaan yang menyebabkan lemahnya legitimasi kebijakan di kalangan pemangku kepentingan.
Dalam konteks ini, katanya, menjadi sangat urgen bagi Indonesia untuk mengkritisi regulasi restriktif terhadap IHT dengan mengedepankan dialog multipihak yang berbasis demokrasi deliberatif dalam proses perumusan kebijakan.
“Proses yang inklusif tentu akan menghasilkan kebijakan dengan legitimasi yang kuat dan representasi yang luas,” ujarnya.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Ir. Supriadi, M.Si, mengonfirmasi temuan riset PSPD pada 2019. Menurutnya, dalam RPJMN kerangka yang digunakan untuk mengatur IHT bukan pendekatan industri, melainkan kesehatan masyarakat. Akibatnya, kontribusi IHT yang sangat besar dan berdampak luas baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun budaya terhadap pembangunan bangsa selama ini diabaikan.
Ia mengkhawatirkan serangkaian kebijakan yang bersifat mengendalikan, ditambah dampak pandemi Covid-19 akan berpengaruh produksi IHT yang berujung pada terganggunya penerimaan negara.
“Sedemikian penting menyusun roadmap IHT yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, ekonomi, pendapatan negara, tenaga kerja, dan pertanian. Aspek kesehatan dan sosial ekonomi harusnya berdampingan, bukan saling mematikan karena sektor kesehatan masih memerlukan subsidi yang bisa dipenuhi dari kontribusi IHT terhadap penerimaan negara,” tegasnya.
Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM, Drg. Ika Dewi Ana, Ph.D., dalam kesempatan itu menekankan meskipun dalam situasi yang penuh tantangan menghadapi era kenormalan baru, aspek kedaulatan dan kemandirian bangsa dalam menentukan kebijakan industri dan perdagangan tetap relevan dan penting, termasuk dalam menentukan kebijakan terhadap IHT. Menurutnya, Indonesia perlu membuat kebijakan bukan semata-mata karena takut diboikot maupun mengikuti negara lain yang sudah menjalankan kebijakan serupa.
Kepala PSPD UGM, Dr. Riza Noer Arfani, MA, yang juga Chair Holder WTO Chairs Programme di UGM sekaligus moderator menjelaskan webinar “Menilik Arah Kenormalan Baru Regulasi Industri Hasil Tembakau” merupakan serial webinar seri pertama. Selain IHT, PSPD selanjunya akan melaksanakan serial webinar untuk mendiskusikan sejumlah komoditas kunci dan sektor jasa penting dalam perekonomian Indonesia, seperti industri otomotif, kelapa sawit, pariwisata dan ekonomi kreatif, serta ekonomi digital dan e-commerce.
“Perbincangan yang terbuka dan genuine di antara para pelaku usaha, industri, pemerintah, pekerja, dan para pemangku kepentingan lainnya amat diperlukan untuk mencari terobosan-terobosan di tengah merosot dan mandeknya perekonomian akibat pandemi COVID-19,”tutur Riza.
Penulis : Agung Nugroho
Foto: Bisnis.com-dok PSPD