![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/1007201594368643211458959-825x464.jpg)
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menuai pro dan kontra dari kalangan politisi maupun masyarakat. RUU usulan DPR RI yang kini pembahasannya ditunda disebut dilatarbelakangi oleh belum adanya landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Guru Besar Fakultas Filsafat UGM, Prof. Kaelan, RUU HIP inkonsisten dalam praktik hukum karena melanggar tertib hukum di Indonesia jika dilihat dari substansi dan hierarkinya.
“Mestinya secara epistemologis RUU HIP ini menjadi sub dari ideologi Pancasila. Tapi kalau dilihat di RUU HIP itu terbalik, Pancasila diletakkan di dalam RUU HIP, ini sudah kesalahan epistemologis dan logika,” paparnya dalam Seminar Kajian Ilmiah Ideologi Pancasila yang digelar Dewan Guru Besar UGM, Jumat (10/7).
Ia menerangkan, keseluruhan sisem norma hukum Indonesia merupakan suatu sistem yang hierarkis. Dalam kedudukan dan fungsinya sebagai dasar negara Republik Indonesia, pada hakikatnya Pancasila merupakan suatu dasar dan asas kerohanian dalam setiap aspek penyelenggaraan negara termasuk dalam penyusunan tertib hukum Indonesia.
Problema substansial dalam RUU ini menurutnya adalah kesalahan dalam meletakkan ideologi dalam suatu undang-undang. Hal ini mengandung category mistake yaitu meletakkan suatu substansi yang tidak konsisten dengan sistem.
Dalam seminar ini, ia memaparkan proses perumusan ideologi Pancasila. Pemahaman sejarah perjuangan bangsa Indonesia dinilai mutlak diperlukan untuk memahami Pancasila secara lengkap, utuh, dan ilmiah, terutama dalam kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, sejarawan Anhar Gonggong mengutarakan bahwa undang-undang ini tidak diperlukan karena hal-hal yang diatur di dalamnya sudah termuat di dalam peraturan perundangan yang sudah ada. Di samping itu, ia menilai terdapat sejumlah kesalahan penafsiran di dalam rancangannya.
“Secara keseluruhan RUU ini tidak menunjukkan sebuah kebutuhan utama dan segera untuk menjadi landasan pemahaman tentang Pancasila karena di berbagai undang-undang sudah termuat,” ucapnya.
Salah satu bagian dari RUU HIP yang ia kritik adalah pasal 7 yang menyebut bahwa ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
Pernyataan ini menurutnya keliru karena Soekarno tidak pernah menyebut Trisila sebagai ciri pokok, melainkan disebut sebagai perasan dari lima sila menjadi tiga.
“Itu dua hal yang berbeda. Karena itu saya minta kita semua masyarakat dan para politikus tidak perlu lagi mengotak-atik Pancasila,” kata Anhar.
Anggota tim ahli Pusat Studi Pancasila UGM, Prof. Dr. dr. Sutaryo, mengungkapkan bahwa sejak dulu terdapat banyak gangguan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara yang datang dalam berbagai wujud.
Untuk itu, bangsa Indonesia menurutnya perlu memiliki sense of idology crisis dan berjuang untuk mempertahankan Pancasila yang menjadi fondasi dari kehidupan politik, ekonomi, dan budaya.
“Bangsa yang besar saat ini adalah bangsa yang berpijak pada sejarah dan budaya kepribadiannya sendiri. Selama bangsa itu ingin meniru budaya orang lain, dia tidak akan menjadi bangsa yang besar,” ungkapnya.
Penulis: Gloria