Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengatakan integritas tidak saja hanya membangun kejujuran, tetapi secara konsisten untuk terus dipertahankan. Pandemi Covid-19 telah banyak merubah, termasuk merubah perilaku orang agar senantiasa tetap terjaga kebugaran.
“Penting membicarakan soal integritas, integritas ini menjadi jualan saya terus-menerus dan tidak bisa disulap dalam waktu dekat. Terlebih integritas dan kenormalan baru, yaitu upaya membangun satu sistem yang sesuai dengan kondisi-kondisi yang dipaksa, dipaksa oleh pandemi, dipaksa memakai masker, ini adalah sesuatu yang baru, yang dulu tidak ada. Kalaupun ada kita menggunakannya temporer,”paparnya saat berbicara webinar bertema Kepemimpinan dan Organisasi, Jumat (10/7).
Dalam webinar yang diseleggarakan Sahabat Percepatan Peningkatan Kepemimpinan Mahasiswa (SP2KM) UGM, Ganjar mengatakan integritas dalam birokrasi juga sama, yaitu upaya pemerintahan yang terhindar dari tindak korupsi dan kolusi. Oleh karena itu, setelah terpilih menjadi Gubernur Jateng pada 2013, dirinya pada tahun 2014 mulai menjalankan pemerintahan bersih dari korupsi dan kolusi sebagai isu utama.
Karena itu, sebagai gubernur ia tak segan-segan melakukan sidak untuk membuktikan korupsi berupa pungutan liar di jembatan timbang. Hasilnya cukup mengejutkan, sebab ternyata korupsi sudah seperti budaya.
“Modelnya pakai korek, atau pakai rokok. Nominalnya antara 10 – 20 ribu per kendaraan. Setahun pendapatan memang bisa mencapai 50 miliar atau minimal 30 miliar, tapi kerusakan jalan bisa mencapai 300 miliar,” katanya.
Berbagai kasus lain adanya PNS tidak hanya level ecek-ecek, di Jawa Tengah dicopot dari jabatan karena tersandung korupsi karena jual beli jabatan. Juga adanya pungutan untuk cek fisik kendaraan hingga 50 ribu perkendaraan.
“Makanya di saat pandemi ini jika masih nekad korupsi maka akan saya pecat dan antarkan ke KPK. Sejak 2013 kita sudah memiliki koordinasi pencegahan kerja sama dengan KPK,” terangnya.
Ir. Ahmad Yuniarto, CEO Schlumberger Indonesia 2011-2015, menyatakan di saat pandemi Covid-19 ini, mengelola masa transisi menjadi hal yang sangat penting. Tidak hanya presiden, gubernur, rektor, tetapi semua masyarakat Indonesia termasuk mahasiswa dalam lingkup kecil.
Menurutnya, pada masa pandemi ini semua pihak harus mulai berpikir bagaimana mengelola transisi kehidupan dalam suasana yang berbeda. Dimana ada hal-hal yang berubah dan ada hal-hal yang harus ditinggalkan.
“Suasana penuh ketidakpastian, ambigu, ada krisis, sangat cheostic, banyak menyangkut dengan perasaan, dengan stres, dengan kebingunan hubungan antar manusia, ini sebenarnya wilayah dimana kita sangat memerlukan kepemimpinan yang sangat kuat,” ucapnya.
Menurut Yuniarto, jika sesuatu yang sudah pasti bisa dikendalikan, sasarannya jelas, dan hal-hal yang berjalan adalah hal-hal rutin bukan lagi menjadi wilayah seorang pemimpin melainkan seorang supervisor atau manajemen. Semua dikendalikan, dimonitor dan perencanaan segala sesuatunya bisa dilakukan dengan rinci.
“Sehingga suasana saat ini memang pas banget kita belajar leadership, ilmu kepemimpinan karena suasana sekarang membutuhkan munculnya sang pemimpin di dalam diri kita masing-masing,” urainya.
Menurutnya, ada tiga fondasi yang akan menguatkan seorang pemimpin. Ketiganya adalah values atau tata nilai, purpose atau niat dan selanjutnya adalah behavior atau perilaku.
“Kalau kita berani menantang dan menanyakan diri sendiri sebelum kita melangkah, apakah ada cara lain atau cara berbeda supaya hasilnya berbeda, impaknya lebih besar. InsyaAlloh itu merupakan salah satu langkah teman-teman menempuh jalan kepemimpinan,” jelasnya.
Yuniarto menandaskan hal-hal apa yang perlu dilakukan setiap orang pada saat intrusi penggunaan teknologi digital atau artificial intelligent atau mesin learning atau apapun juga semakin tinggi maka yang diperlukan sebetulnya adalah peningkatan kecerdasan kontekstual, kecerdasan emosi dan kecerdasan sosial manusia. Ini perlu dilakukan agar manusia tidak kehilangan rasa kemanusiaannya.
“Sehingga kalau ada pertanyaan bagaimanakah sih sebetulnya strategi memimpin di era disrupsi digital? Maka strateginya ini tadi, bagaimana kita bisa menguatkan kecerdasan kontekstual, kecerdasan emosi dan kecerdasan sosial,” paparnya.
Penulis : Agung Nugroho