![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/14072015947176021441989431.jpg)
Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM kembali menggelar seri Diskusi Seputar Korupsi (DIKSI) pada Senin (13/7) sore. Gelaran ke-6 seri diskusi ini mengangkat tema “RUU Cipta Kerja: State Capture & Sentralisasi Kekuasaan”.
Untuk membahas tema tersebut, Pukat UGM mengundang beberapa narasumber. Mereka adalah Siti Rakhma Mary (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Nur Hidayati (Wahana Lingkungan Hidup), Herdyansyah Hamzah (Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman) dan Zainal Arifin Mochtar (Peneliti PUKAT UGM).
Rakhma mengawali diskusi dengan menyebut RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law ini sebagai sebuah hidden agenda dari oknum di pemangku kebijakan. Menurutnya, permasalahan yang terdapat pada RUU ini ada di berbagai sektor, seperti perizinan, agraria dan tata ruang, sampai perburuhan.
Lebih lanjut, Rakhma menjelaskan permasalahan tersebut menyebabkan beberapa implikasi terhadap masyarakat Indonesia. Hal itu antara lain akan menyebabkan pelebaran jarak antara pengusaha dan buruh, kemiskinan yang semakin parah, perbudakan buruh, kerusakan lingkungan, serta pelanggaran hukum dan HAM.
“Pemerintah seperti ‘tidak kuasa’ untuk memenuhi keinginan pengusaha dengan menghabisi semua hal yang dianggap menghambat investasi. Di sini banyak aturan yang ditabrak tanpa merasa bersalah, dan diganti dengan aturan baru seolah-olah ini hukum baru,” ujarnya.
Hal tersebut disetujui oleh Nur Hidayati. Dari sudut pandang bidang yang digelutinya, yakni lingkungan, RUU tersebut dapat mengancam kondisi lingkungan negeri ini. Hal itu karena semakin banyaknya investasi masuk, semakin banyak pula lahan yang tadinya untuk konservasi atau dimanfaatkan untuk pertanian akan dialihfungsikan.
“RUU ini menyebabkan air, hutan, dan lahan pertanian kita menjadi tercemar. Para petani dan masyarakat lain yang bekerja dalam sektor tersebut juga akan kehilangan pekerjaannya,” paparnya.
Sementara itu, Hamzah menyoroti proses penyusunan RUU ini tidak jauh beda dengan Revisi UU KPK. Menurutnya, proses penyusunan kedua UU ini nir partisipatif dan tertutup. Ia menyebut aktor state capture dari kedua UU juga sama, yakni DPR-RI.
“Proses pembentukan kedua UU jauh dari prinsip demokrasi liberatif karena bersifat anti dialog. Selain itu, juga cenderung anti kritik dan represif. Jika hal ini terus berlangsung akan memperlemah gerakan anti korupsi di Indonesia,” ungkapnya.
Dari perspektif korupsi, Zainal menjelaskan bahwa RUU ini tidak bisa hanya dibaca pasal per pasal saja. Namun, ia menyebut pembacaannya harus secara menyeluruh dengan pendekatan beyond the law dan aspek socio-legal.
“Penyusunan suatu UU haruslah dilihat dari berbagai paradigma. Seperti hukum, publik, politik hukum, kemampuan mekanisme, relasi atau dampaknya terhadap masyarakat, dan lain sebagainya. Hal itu agar tidak terjadi sentralisasi kekuasaan yang rawan terhadap korupsi,” pungkas Dosen Fakultas Hukum UGM ini.
Penulis: Hakam
Foto: Ekbis.sindonews.com