Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., mengatakan frekuensi kejadian gempa bumi setiap tahun terus semakin meningkat. Bila sebelum tahun 2016 rata-rata kejadian 4.000-5.000 kali, lalu meningkat 7.000 kali setahun kemudian. Namun, sejak 2018 hingga sekarang meningkat hingga lebih dari 11 ribu kali setiap tahunnya. Peningkatan aktivitas kegempaan ini menurutnya belum diketahui penyebabnya dan masih terus diteliti oleh pakar terkait aktivitas pergeseran lempeng bumi ini.
“Untuk menganalisis ini perlu kajian mendalam. Apakah ini tren pengulangan atau memang ada peningkatan sehingga perlu dievaluasi dengan dukungan data dengan kerja sama banyak pihak,” kata Dwikorita dalam webinar yang diselenggarakan Departemen Teknik Geologi UGM yang bertajuk Sistem Pemantauan Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami, Jumat (17/7).
Peningkatan aktivitas tektonik ini menurut Dwikorita bisa saja terpengaruh oleh perubahan iklim dan sebagainya. Namun begitu, data yang dimiliki oleh BMKG menurutnya hanya pada kejadian kegempaan sampai pada 200 tahun silam. Namun, catatan soal kejadian tahun yang lebih lama tidak dimiliki. “Keterbatasan selama ini memang kita tidak cukup memiliki data history gempa, hanya ada mulai tahun 1800-an, sekitaran 200 tahun yang lalu,” imbuhnya.
Peningkatan aktivitas kejadian gempa di tanah air ini sudah ia laporkan ke Presiden. Salah satu langkah yang dilakukan oleh BMKG adalah meminimalkan risiko bencana akibat gempa bumi dan bencana tsunami. Namun demikian, soal alat deteksi tsunami yang dimiliki sekarang ini menurutnya sudah tidak layak pakai lagi karena sudah melampaui batas kemampuan kerja alat yang maksimal hanya 10 tahun. “Sekarang sedang proses revitalisasi dan pengembangan,” katanya.
Tidak hanya alat yang sudah uzur, kemampuan alat deteksi tsunami ini menurutnya juga tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan oleh BMKG. Sebab, alat yang ada sekarang ini hanya mendeteksi gempa akibat aktivitas tektonik, namun bila terjadi aktivitas vulkanik seperti kejadian longsor di bawah lalut justru tidak terdeteksi.
“Teknologi yang ada sampai hari ini didesain berdasarkan bencana tsunami di Aceh yang diakibatkan kejadian gempa tektonik, namun untuk kejadian gempa non tektonik, sistem itu tidak dirancang,” katanya.
Menurutnya, kejadian tsunami di Banten beberapa waktu lalu akibat erupsi Gunung Krakatau menjadi pelajaran berharga bagi BMKG untuk memasang alat deteksi tsunami tidak hanya pada kejadian gempa tektonik, namun juga kejadian non tektonik.
Pihaknya tengah bekerja sama dengan BPPT, ITB dan beberapa lembaga lainnya dalam mengembangkan peralatan Earthquake Early Warning System atau pengembangan sistem peringatan dini gempa bumi. Rencananya sensor alat deteksi gempa ini dipasang di jalur megatrust. “Sebarannya mengikuti megatrust sekitar 400-an sensor yang diperlukan,” katanya.
Penulis : Gusti Grehenson
Fotto: Bengkulu.antaranews.com