Dalam konteks paradoks, sistim pelayanan kesehatan diharapkan sebagai sektor sosial yang penuh dengan nilai kemanusiaan, sekaligus dipengaruhi oleh hukum pasar. Keduanya dapat bertentangan. Sebagai salah satu gambaran paradoks, dinyatakan bahwa semakin besar kekuatan ekonomi di suatu wilayah, maka semakin banyak tersedia dokter spesialis. Sementara itu, semakin banyak penduduk miskin, maka semakin sedikit jumlah dokter spesialis.
Demikian disampaikan Prof dr Laksono Trisnantoro MSc PhD saat mengucap pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM, di Balai Senat, Selasa, (28/11).
“Derajad asosiasi sekitar 0,9. Sebagai gambaran timpangnya penyebaran, data IDAI (2005) menunjukkan bahwa jumlah dokter spesialis anak (SpA) di DKI Jakarta sebanyak 443 (5,29 SpA per 100 000 penduduk), sementara di Propinsi Papua hanya 7 (0,32 SpA per 100 000 penduduk),†ujar Prof Laksono.
Idealnya peran dokter seperti Ibu Teresa, yang dekat dengan masyarakat miskin. Namun, kenyataan sebaliknya. Penyebaran dokter spesialis ini, kata Prof Laksono, merupakan hal serius yang merugikan pemerataan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin. Karena dari mereka saat ini telah didanai pemerintah pusat melalui program Askeskin.
“Dikhawatirkan dana pelayanan rumah sakit bagi masyarakat miskin akan lebih terserap ke daerah-daerah yang memiliki dokter spesialis dengan peralatan medik yang lengkap. Hal ini tentu akan memperbesar kesenjangan antara Jawa dan Luar Jawa,†tambah Prof Laksono saat mengucap pidato berjudul “Sistim Pelayanan Kesehatan di Indonesia: Apakah Mendekati Atau Menjauhi Paradoks dan Anarkisme?â€. (Humas UGM).