![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2020/07/20072015952335631978030486.jpg)
Kasus infeksi virus corona di Indonesia melampaui catatan jumlah infeksi di China. Mengutip dari Kompas.com berdasarkan data pemerintah Indonesia hingga Sabtu (18/7) pukul 12.00 WIB, diketahui ada 1.752 kasus baru Covid-19. Dengan begitu, total kasus infeksi di Indonesia berjumlah 84.882 kasus, terhitung sejak 2 Maret 2020.
Tren penambahan kasus korona di Indonesia terjadi pada akhir-akhir ini selalu di atas angka 1.400, pada tanggal 16 Juli 2020 sebanyak 1.574, 17 Juli 2020 sebanyak 1.462 dan 18 Juli 2020 sebanyak 1.752. Jumlah penambahan ini menjadikan Indonesia melampaui jumlah pasien di China pada hari Sabtu (18/7), dengan rincian Indonesia 84.882 dan China sebanyak 83.644.
Terkait peningkatan yang cukup tinggi ini, pakar epidemiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Satria Wiratama, mengatakan ada banyak faktor menjadi penyebab. Diantaranya munculnya klaster-klaster penyebaran baru di banyak daerah dan meningkatnya jumlah kasus yang terdeteksi akibat tes yang dilakukan juga semakin banyak.
“Juga dikarenakan mobilitas masyarakat dari satu daerah ke daerah lain yang terlihat meningkat pula sehingga meningkatkan pula penularan antar daerah dan ini tidak diimbangi dengan surveilans perbatasan antar daerah dengan baik,” ujarnya, Senin (20/7) di Kampus UGM.
Menurut Bayu Satria, kondisi New Normal atau yang kemudian diralat sebagai adaptasi kebiasaan baru tidak diiringi dengan perilaku disiplin terkait protokol kesehatan oleh masyarakat. Di sisi lain pemerintah tidak memberikan contoh yang baik dan benar untuk disiplin terhadap protokol kesehatan.
“Kita sering lihat para pejabat, bahkan hingga presiden sekalipun memakai masker dengan tidak benar,” terangnya.
Soal contoh teladan dari para pejabat publik ini, ia menilai sangat berpengaruh di masyarakat. Bagaimanapun masyarakat akan selalu mencontoh dan meniru apa yang dilakukan pejabat, artis dan publik figur lainnya.
Belum lagi anggapan masyarakat soal New Normal. Tidak sedikit dari mereka beranggapan New Normal sebagai kondisi normal seperti kemarin-kemarin,
“Inilah salah satu bentuk komunikasi risiko yang kurang baik dari pemerintah. Memberikan sesuatu tetapi tidak menjelaskan dengan baik dan benar, dan pasti akan berpengaruh karena orang akan melakukan mobilitas seperti biasanya, makan-makan seperti biasanya dan lain-lain,” tuturnya.
Menurutnya, masyarakat kurang paham sejak awal karena pemerintah tidak menjelaskan dengan detail dan memberikan contoh yang baik. Sepertinya terkait New Normal terkesan tidak didesain dengan baik, padahal akademisi dan ahli sudah memberi saran dan membantu dengan edukasi.
“Tidak bosan-bosan kita selalu sampaikan soal pentingnya memakai masker, jaga jarak dan kebersihan tapi tetap dari pemerintah tidak kuat dan kurang bagus sehingga menjadikan kurang mengena,” paparnya.
Meski begitu dengan tingginya angka penularan saat ini, pemerintah mulai membuka komunikasi yang baik dengan ahli-ahli di perguruan tinggi, dan membuat komunikasi risiko yang baik dan terencana. Berbeda dengan sebelumnya, pemerintah pun kini jeli memetakan masalah dan kondisi terkini di setiap daerah, dan memperkuat kapasitas laboratorium di daerah terkait pemeriksaan Covid-19.
Selain itu dilakukan pula kerja sama dengan laboratorium swasta dan kembali memperketat mobilitas antar daerah yaitu dengan menerapkan masyarakat yang masuk suatu daerah dan berasal dari daerah risiko tinggi wajib karantina terpusat selama 14 hari terlepas dari apapun hasil polymerase chain reaction (PCR) atau rapid test sebelum berangkat.
“Karena kebijakan PCR dan rapid yang berlaku 14 hari sekarang tidak efektif. Untuk itu perlu memperkuat surveilans mobilitas dan perbatasan terutama daerah yang banyak kasusnya, perkuat penemuan kasus dengan melibatkan tambahan tenaga dari luar pemerintah untuk membantu penemuan kasus dan contact tracing, dan lain-lain,” jelasnya.
Untuk kembali memberlakukan pembatasan-pembatasan, Bayu Satria menyampaikan pembatasan sebaiknya dilakukan hanya untuk daerah-daerah yang kasusnya tidak terkontrol, seperti Surabaya. Meski begitu, pembatasan inipun tidak harus dengan skala 1 kota, cukup dipetakan wilayah-wilayah di kota tersebut yang sangat berisiko tinggi.
Bayu mengakui banyak pihak tidak siap dengan berbagai fasilitas untuk mendukung protokol kesehatan di era New Normal. Mereka yang tidak siap terutama sektor bisnis menengah dan kecil, seperti warung, angkringan dan lain-lain.
“Tingginya angka ini juga dikarenakan ketidakpahaman masyarakat, ketidakpatuhan karena mereka karena tidak ada pengawasan yang ketat, dan ketidaksiapan sebagian tempat umum,” ungkapnya.
Menurutnya, pengawasan memang tidak perlu 24 jam, tetapi diutamakan di tempat publik, rumah makan dan ruang-ruang besar yang kemungkinan menjadi tempat berkumpul. Hal ini tentu juga melibatkan banyak pihak terkait.
“Oleh karena itu, aturan dalam New Normal perlu ditegakkan. Saya kira efektif jika ditegakkan dengan benar dan tegas, artinya semua yang melanggar baik pejabat, bupati, gubernur wajib, siapapun dikenakan denda,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : iNews.id