Djarot Saiful Hidayat, Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPP PDIP, mengatakan dalam konteks Pemilihan Umum (Pemilu) atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) maka tujuan pencalonan bagi PDIP bukan sekedar memenangkan pemilu, tapi bagaimana melahirkan pemimpin-pemimpin dengan kinerja yang baik. Pemimpin-pemimpin di daerah yang memiliki kinerja baik. Oleh karena itu, dasar yang kemudian dipakai PDIP dalam menyelenggarakan pencalonan adalah konsolidasi ideologi, konsolidasi organisasi, konsolidasi kader dan konsolidasi partai dengan kehendak rakyat.
“Inilah yang menjadi dasar, dan kemudian dipakai oleh PDIP dalam proses pencalonan,” ujarnya dalam webinar bertajuk Proses Kandidasi di Pilkada 2020 : Ruang Gelap Yang Penuh Misteri, yang digelar Departemen Politik dan Pemerintahan UGM dan PolGov Fisipol UGM, Kamis (23/7).
Menurut Djarot untuk menuju konsolidasi demokrasi yang kuat di masa depan maka kuncinya ada pada partai politik. Sebab, sumber utama di partai politik sehingga parpol harus memastikan dan bertangung jawab agar dirinya sehat.
“Harus menjadikan partai politik sehat, kuat dari sisi strukturnya, jiwa dan badannya juga kuat. Karena itu, PDIP konsisten melakukan pendidikan politik sebagai bagian dari kaderisasi, sekaligus konsisten membangun struktur partai hingga ke tingkat bawah, bahkan membangun kantor-kantor partai hingga tingkat cabang. Bukan hanya untuk kepentingan partai, tapi ini rumah bersama rakyat, tempat untuk menyampaikan aspirasi,” katanya.
Terkait pencalonan seseorang menjadi calon pemimpin daerah, Djarot berpendapat tergantung faktor dominasi partai di daerah tersebut. Artinya, jika kursi legislatif didominasi oleh partai maka biasanya akan sulit bagi orang lain untuk masuk, sebagai contoh di Boyolali dan Solo, Jateng, di daerah tersebut PDIP begitu dominan.
Faktor lain yang cukup berpengaruh dalam pencalonan adalah bagusnya track record yang dimiliki seseorang. Jika seseorang kemudian maju hanya gambling dipastikan tidak mampu melawan.
“Kalau hanya gambling pasti babak belur. Ini proses yang terjadi selama ini. Tapi ada juga kandidat memborong semua partai untuk bisa maju calon tunggal sehingga ada kekosongan disitu. Sementara terkait hasil survei bagi partai, itu sebagai informasi yang dinamis, survei sebagai gambaran atau masukan,” imbuhnya.
Hasyim Asy’ari, anggota KPU RI, mengakui ada kecenderungan penentuan calon pemimpin daerah hanya dilakukan oleh sedikit elit. Mereka adalah para elit partai atau top position di partai, dan karena terbatas orangnya dan sedikit orang yang bisa menentukan maka kecenderungannya tertutup.
“Ini sering disebut dengan sistem oligarkhis dalam pencalonan. Soal kajian-kajian ini sudah banyak, tapi bukan porsi saya membuat penilaian-penilaian terhadap proses-proses dinamika pencalonan di internal partai,” katanya.
Metode penentuan lainnya dengan cara partisipatif, dan cara ini dinilai cenderung memiliki karakter demokratis. Cara-cara yang melibatkan banyak orang, dan ini cenderung bersifat terbuka.
Bagi KPU terkait calon-calon yang akan maju pilkada maka kewenangan yang dimiliki hanya membuka dokumen yang diserahkan partai politik terkait pencalonan pasangan calon. KPU tidak memiliki kewenangan untuk membuat penilaian terhadap calon yang akan maju kontestasi.
“Ini berbeda dengan apa yang dialami di Paraguay, dimana UU Pemilu disana yang memungkinkan lembaga semacam KPU melakukan wewenang untuk hadir dan membuat penilaian dalam proses-proses pencalonan di internal partai, sudah demoktratis belum, sudah transparan belum,” katanya.
Bagi Hasyim pilar demokrasi adalah partai politik dan pemilu, termasuk pilkada di dalamnya. Oleh karena itu, yang penting dilakukan segera adalah konsolidasi dan menyiapkan pola yang relatif ajeg, sebab kecenderungan dalam pemilu atau pelaksanaan pilkada sering terjadi perubahan-perubahan pola, termasuk perubahan pelembagaan yang tertuang dalam UU.
“Makanya dalam konteks itu kalau mau perubahan untuk pemilu nasional, misalnya setelah dua kali pemilu dievaluasi dan lain-lain. Tapi kita memiliki kecenderungan habis pemilu, UU ganti lagi, inilah proses pelembagaannya tidak pernah rampung. Itu sebetulnya bagi partai politik juga melelahkan, bagi calon melelahkan, bagi penyelenggara pemilu adaptasinya juga butuh waktu,” ungkapnya.
Untuk itu, ia berharap proses pelembagaan demokrasi di Indonesia harus selalu dikawal. Jangan sampai merosot menjadi demokrasi yang minimalis, atau bahkan cenderung mengarah pada anti demokrasi.
Arya Budi, dosen DPP Fisipol UGM, berpandangan proses kandidasi adalah bagian dari cara orang untuk menang, sementara bagi partai untuk memenangkan dalam prosesnya memerlukan biaya politik yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan adanya reformasi politik untuk mereduksi financing dalam proses kandidasi.
“Saya berharap ada proses kesana. Karena dalam beberapa kasus biaya politik tinggi menciptakan siklus skandal korupsi yang agak lumayan di beberapa daerah,” katanya.
Soal pencalonan seseorang untuk maju pilihan kepala daerah, Arya mengakui sistem di Indonesia masih mencari-cari bentuk. Mekanisme masih belum jelas meletakan kandidasi sebagai domain partai atau domain publik.
“Itu sejak awal harus dijelaskan karena sampai sejauh ini kandidasi itu adalah domain eksklusif atau menjadi domain partai. Sementara dalam siklus pemilu lainnya kampanye, registrasi dan sebagainya hingga pencoblosan menjadi domain bersama, ada partai, ada penyelenggara (KPU) dan ada pemilih,” paparnya.
Kepala PolGov, Prof. Dr. Cornelis Lay, M.A., menambahkan hingga kini pelaksanaan pemilu masih dimaknai sebatas pemberian suara di tahapan pemungutan suara. Padahal, mengutip pendapat Gallager (1998) menggambarkan pencalonan atau kandidasi sebagai “the secret garden of politics”.
Yaitu ruang rahasia yang digambarkan sangat tertutup dan penuh misteri. Publik tidak mengetahui aktivitas apa yang sedang dilakukan di dalamnya.
“Diistilahkan sebagai the garden is full of “muddy waters”, untuk menggambarkan betapa kotornya aktivitas yang dilakukan di dalam ruang tersebut. Tidak mengherankan jika kandidasi dipandang sebagai urusan partai politik atau bahkan urusan dari segelintir elite partai politik,” tuturnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Kolom Tempo.co