Jati diri UGM adalah sebagai Universitas Nasional, Universitas Perjuangan, Universitas Pancasila, Universitas Kerakyatan dan Universitas Pusat Kebudayaaan.
Dalam perjalanannya, UGM selama ini telah secara menerus dan berkesinambungan serta konsisten melaksanakan hal-hal yang terkandung di dalam jati diri UGM tersebut. Namun, dari ke lima jati diri UGM ini masih dirasakan terdapat salah satu jati diri yaitu sebagai Universitas Pusat Kebudayaaan yang belum dapat diaktualisasikan secara optimal baik secara implisit maupun eksplisit dibandingkan dengan keempat jati diri yang lain.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa jati diri UGM sebagai Universitas Pusat Kebudayaaan memiliki peran sentral dan penting dalam mewujudkan tujuan didirikannya UGM pada 7 dekade yang lalu,” papar Ketua Dewan Guru Besar, Prof. Koentjoro, Kamis (30/7).
Menurut Koentjoro kebudayaan pada hakikatnya memiliki peran dan fungsi sangat sentral dan penting dalam mengarahkan sekaligus memberikan orientasi terhadap setiap usaha untuk mencapai tujuan terkait jati diri UGM sebagai Universitas Pusat Kebudayaaan. Potensi dan peluang yang dimiliki oleh UGM dalam mengaktualisasikan jati diri UGM sebagai Universitas Pusat Kebudayaaan sangat besar.
Hal itu ditunjukkan oleh keragaman keilmuan, jumlah dan tingkat kualitas yang tinggi terkait kompetensi dosen dalam mengembangkan keilmuan yang dimiliki, dukungan tenaga kependidikan yang memadai serta jumlah dan keragaman asal para mahasiswa yang dimiliki meliputi seluruh wilayah nusantara yang memiliki keragaman budaya.
Melihat potensi dan peluang yang dimiliki oleh UGM di atas maka DGB UGM melakukan perumusan visi misi, model dan konsep UGM sebagai Universitas Pusat Kebudayaan 2050. Untuk merumuskan konsep tersebut DGB menggelar sidang pleno UGM sebagai jati diri Universitas Pusat Kebudayaan pada Kamis (30/7) menghadirkan arsitek nasional Yori Antar. Sebelumnya, DGB UGM juga telah melakukan serangkaian kegiatan workshop secara paralel sejak Juni 2020.
Penulis: Satria