Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi pemain utama dalam perekonomian domestik, dengan kontribusi sebesar 60,3 persen dari total Produk Domestik Bruto Indonesia di tahun 2017, serta menyerap 97 persen dari total tenaga kerja dan 99 persen dari total lapangan kerja.
Kepala Pusat Studi ASEAN Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Dafri Agussalim, menyebut UMKM menjalankan peran strategis dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai aktor utama kawasan.
“UMKM perlu diperhatikan sebagai alat penunjang kesejahteraan dan kemandirian ekonomi di kawasan Asia Tenggara. UMKM di Indonesia patut dijadikan acuan sebagai penyokong ekonomi regional di era MEA,” paparnya, Kamis (30/7).
Hal ini ia sampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Pemanfaatan Sistem e-Monitoring Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (STORMEA) dalam Mendukung Perekonomian Nasional ” yang diselenggarakan oleh Kementerian Perekonomian Republik Indonesia.
Pusat Studi ASEAN sendiri menyokong upaya pemerintah dalam mengembangkan peran UMKM di ASEAN melalui kajian-kajian mendalam terhadap persoalan yang dihadapi serta keunggulan yang dimiliki oleh UMKM di masing-masing daerah.
Cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN 2025 yang disetujui oleh negara anggota ASEAN pada tahun 2015 meliputi penciptaan pasar tunggal dan basis produksi dengan arus bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil, kawasan yang berdaya saing tinggi, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan merata, serta mengintegrasikan ASEAN ke dalam ekonomi global.
Pengembangan UMKM pun menjadi salah satu upaya yang dikedepankan dalam Kerangka Kerja ASEAN mengenai Pembangunan Ekonomi yang Setara, disamping pengurangan kesenjangan pembangunan, penguatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan kesejahteraan sosial, dan partisipasi yang lebih luas dalam proses integrasi ASEAN.
Peran strategis UMKM dalam MEA, terangnya, meliputi membantu menanggulangi masalah pengangguran, menghidupkan kawasan industri, memiliki daya tahan yang kuat saat dihadapkan dengan krisis, dan berkontribusi besar terhadap PDB dan pertumbuhan ekonomi.
“Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa sektor UMKM tahan banting terhadap krisis. Pasca krisis ekonomi tahun 1997-1998 jumlah UMKM justru menunjukkan peningkatan, mampu menyerap 85 juta hingga 107 juta tenaga kerja sampai tahun 2012,” kata Dafri.
UMKM, imbuhnya, adalah sektor prominen di kawasan Asia yang terbukti menunjang perekonomian, khususnya negara-negara berkembang. Meskipun penting, namun tidak jarang negara mengabaikan inisiatif ekonomi berdikari ini.
Ia menyebut sejumlah hambatan internal terhadap pengembangan UMKM, di antaranya berkaitan dengan akses pembiayaan perbankan, pengelolaan administrasi keuangan, serta kualitas sumber daya manusia.
Sementara itu, hambatan eksternal yang dihadapi berupa keterbatasan akses bahan baku dan teknologi, iklim usaha yang kurang kondusif, serta lemahnya infrastruktur dalam bidang transportasi dan energi.
Untuk mengembangkan UMKM dalam menghadapi MEA, ia memberikan sejumah strategi dan rekomendasi, salah satunya pada aspek promosi dengan merancang program khusus untuk memfasilitasi promosi dan pemasaran serta pemanfaatan digital marketplace untuk pemasaran.
“Hanya 8 persen atau sekitar 3,79 juta usaha yang memanfaatkan platform daring. Padahal, digitalisasi pemasaran produk menjadi momen penting bagi pengembangan UMKM,” ucapnya.
Di samping itu, strategi pengembangan UMKM menurutnya juga harus mencakup aspek kelembagaan, akses pembiayaan dan legalitas, peningkatan daya saing global, serta monitoring.
Penulis: Gloria
Foto: Freepik.com