Pandemi Covid-19 berdampak pada semua sektor dan lapisan masyarakat, terlebih bagi kelompok marginal yang sering mendapat stigma dan diskriminasi. Terlepas dari kerentanannya, kelompok-kelompok marginal nyatanya bisa tetap berdaya dan bahkan menjadi penggerak di komunitas masing-masing ketika pandemi Covid-19 melanda.
“Kelompok ini justru mampu bertahan karena selama ini mereka sudah terus bergerak,” ucap Sandra Hamis, Country Representative The Asia Foundation, dalam webinar bertajuk “Belajar Dari Kelompok Marginal: Praktik Baik Inklusif di Masa Pandemi” yang diselenggarakan Program Peduli/The Asia Foundation bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM, Rabu (5/8).
Di masa pandemi, ungkapnya, perubahan keseharian dirasakan oleh semua orang, baik yang kaya maupun miskin, di kota maupun di desa. Namun, di tengah kesulitan ini kehidupan harus terus berjalan.
Program Peduli mendukung kelompok-kelompok marginal, yang pada masa pandemi ini menanggung kerentanan ganda. Sejak tahun 2015, kelompok yang didukung oleh Program Peduli sudah bekerja mendorong penerimaan sosial, serta memberdayakan diri dan ikut terlibat dalam proses perencanaan pembangunan dari level desa hingga kabupaten/kota.
Webinar ini menghadirkan sejumlah narasumber dan penanggap untuk mendiskusikan bagaimana strategi kelompok marginal dan organisasi masyarakat sipil dalam beradaptasi dan berupaya melampaui dampak pandemi.
Sandra mengungkapkan, masyarakat perlu sama-sama belajar dari pinggiran dan bagaimana mereka menghadapi pandemi.
“Proses mengharuskan kita berpikir ulang tentang pinggir dan pusat, maka dari mereka kita belajar,” katanya.
Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah Hasna, Sekretaris Desa Matue, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tenggara. Desa ini, terang Hasna, berada di wilayah yang terisolir sehingga menyebabkan terjadinya diskriminasi terutama dalam penyediaan layanan dasar bagi warga. Ketika desa ini menghadapi bencana gempa bumi, penyaluran bantuan pun terhambat karena kendala prasarana transportasi.
Meski demikian, dalam kondisi semacam ini desa tersebut bisa bertahan melalui inisiatif dari warga yang saling membantu.
“Upaya dari desa sudah ada solidaritas dari desa-desa yang dampaknya tidak terlalu parah memberi bantuan makanan dan bahkan menyediakan tempat untuk posko kesehatan,” ucapnya.
Menurut Wakil Dekan FISIPOL UGM, Dr. Wawan Mas’udi, masa-masa yang sulit membuktikan bagaimana Bangsa Indonesia memiliki modal sosial yang baik, termasuk di tengah pandemi covid-19.
“Masyarakat sangat kuat, memiliki resiliensi di tengah keterbatasan negara yang pada tahap awal pandemi menyerang dihadapkan pada banyak kegagalan dan ketidaktahuan,” ungkapnya.
Pandemi, terangnya, menyebabkan hampir seluruh sistem pemerintahan dan layanan publik di seluruh negara mengalami goncangan luar biasa sehingga negara tidak bisa cepat melakukan penyesuaian. Karena itu, situasi ini menunjukkan banyaknya persoalan yang dihadapi negara, termasuk mengenai kesenjangan sosial dan ekonomi.
Konsep kenormalan baru yang didengungkan pun, menurutnya, perlu diterapkan tidak hanya dalam konteks individual, tetapi juga secara sistemik.
“Kegagapan ini menunjukkan kita punya kerentanan sistemik, dan perlu jadi pembelajaran penting bagi kita semua bagaimana memanfaatkan Covid-19 untuk merenungkan ulang sistem yang kita miliki dan melompat membangun sistem yang lebih adil,” jelas Wawan.
Penulis: Gloria