Guru Besar Fisipol UGM, Prof. Dr. Cornelis Lay, MA., berpulang pada hari Rabu (5/8) di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Pria yang akrab disapa Mas Cony ini berpulang di usia 61 tahun, meninggalkan satu orang istri dan dua orang anak.
Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., mengatakan Cornelis Lay merupakan intelektual yang dimiliki UGM dan banyak memberikan kontribusi pemikiran pada pengembangan pendidikan ilmu pemerintahan dan politik. ”Beliau dikenal sebagai pejuang dan pemikir besar pada bidang ilmu pemerintahan dan politik pada Fisipol UGM. Pemikiran-pemikiran besar dapat kita lihat pada buku yang beliau tulis dan pada pidato pengukuhan Guru Besarnya tahun lalu,” kata Rektor pada upacara penyemayaman di Balairung UGM, Kamis (6/8).
Dalam pidato sambutannya, Rektor UGM mengutip Pidato Prof Cornelis Lay pada upacara pengukuhan Guru Besar 6 Februari 2019 lalu yang berjudul Jalan Ketiga Peran intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan. Menurut Rektor, pada pidatonya, Cornelis menyampaikan refleksi pemikirannya soal posisi intelektual ketika berhadapan pada kekuasaan. “Menurutnya kaum intelektual harus menyadari beragam kekuatan politik yang bisa memengaruhi pembentukan kurikulum, penilaian akademik dan pemikiran, serta relasinya pada kemanusiaan,” ujarnya.
Salah satu pesan yang disampaikan oleh Cornelis Lay, kata Rektor, seorang intelektual harus menyampaikan semua kebenaran yang diketahuinya dan tidak bersembunyi pada kebohongan. “Pesan beliau, dosa terbesar kaum intelektual terletak pada kebohongan dalam mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya,” katanya.
Di mata Rektor UGM, Cornelis Lay yang ia kenal sebagai sosok nasionalis sejati dan pria yang selalu tampil ramah dan murah senyum. “Saya mengenal beliau sebagai sosok nasionalis, hangat, ramah, mengayomi dan memiliki kepedulian orang di sekitarnya,” katanya.
Sementara Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., mengatakan ia secara khusus mewakili Presiden Joko Widodo datang menghadiri upacara persemayaman dan penghormatan terakhir Cornelis Lay. “Presiden menyampaikan duka cita yang mendalam atas kepergian pak Cony,”katanya.
Pratikno menuturkan kepergian Cony bukan hanya kehilangan yang dirasakan bagi dunia sivitas akademika UGM, namun juga dari dunia politik di Indonesia. “Tidak semua orang bersahabat dengan dia dari sisi politik. Pasti banyak pesaing dan lawan politik. Tapi saya yakin ia dianggap sebagai seorang pejuang dalam dunia politik,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Pratikno mengutip tulisan Presiden Jokowi pada buku biografi yang didedikasikan untuk almarhum yang diterbitkan tahun lalu, “Mas Cony yang saya kenal adalah seorang akademisi, pemikir, dan selalu kritis, tidak tergiur dengan gemerlap jabatan, tidak terseret oleh arus kekuasaan, dan selalu berjuang untuk kemanusiaan,” pungkasnya.
Dalam daftar riwayat hidup yang dibacakan oleh Dekan Fisipol UGM, Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto, Cornelis Lay dilahirkan di Kupang, 6 September 1959. Ia menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu pemerintahan UGM tahun 1987, S2 di Saint Mary’s University Canada, Amerika Serikat tahun 1992 dan pendidikan S3 ilmu Politik di UGM tahun 2015.
Ia memulai pekerjaan sebagai dosen sejak 1988 dan meraih jabatan Guru Besar pada tahun 2018. Selain menjadi dosen, semasa hidupnya, ia pernah menjabat sebagai Kepala Biro Pemerintahan dan Politik Dalam Negeri pada Deputi Bidang Politik, Sekretariat Wakil Presiden tahun 2000-2004, Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM tahun 2007-2011 dan Asisten Dekan Senior bidang Penelitian Pengabdian Masyarakat Fisipol UGM tahun 2009-2010.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Firsto