Bulan ini bertepatan dengan 75 tahun peringatan penggunaan bom nuklir pertama kali dan menandai dimulainya era nuklir. Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, kota Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh serangan bom atom. Lebih dari 240.000 anak-anak, perempuan dan laki-laki tewas dalam pengeboman tersebut. Mereka yang bertahan hidup dari ledakan menderita dampak jangka panjang seperti penyakit leukimia dan kanker sebagai akibat dari paparan radiasi. Sebagian besar korban adalah warga sipil.
Meski 75 tahun setelah tragedi kemanusiaan di Hiroshima dan Nagasaki, senjata nuklir sekarang ini sebagai satu-satunya senjata pemusnah massal yang belum dilarang oleh traktat internasional. Senjata pemusnah massal lainnya seperti senjata biologis dan kimia sudah dilarang sejak berdekade-dekade lalu. “Senjata nuklir masih menjadi senjata pemusnah massal yang belum sepenuhnya disepakati dilarang,” kata pakar pemerhati hubungan internasional UGM Dr. Muhadi Sugiono, Jumat (7/8).
Muhadi menyebutkan saat ini senjata nuklir yang ada di dunia berjumlah 14.000 hulu ledak dan dikuasai oleh sembilan negara yakni Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, Cina, India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara. “Masih banyak lagi senjata ini yang berada dalam status siaga, yang artinya senjata tersebut dapat diluncurkan dalam hitungan jam jika tidak menit,”paparnya.
Sebenarnya, menurut Muhadi, pada 7 Juli 2017 lalu lebih dari 120 negara mengadopsi sebuah traktat baru yang untuk pertama kalinya dalam sejarah melarang senjata nuklir secara total. The Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW) diadopsi dengan pemungutan suara, dengan hasil 122 negara menyetujui, 1 abstain, dan 1 menolak. Adopsi traktat ini memberikan masyarakat global sebuah kesempatan bersejarah untuk melarang senjata nuklir dan membuka jalan bagi penghapusannya secara total.
Agar traktat ini dapat berlaku diperlukan setidaknya 50 ratifikasi dari negara-negara. Saat ini sudah ada lebih dari 40 negara yang telah meratifikasinya dan 82 negara yang telah menandatanganinya. Jumlah ini kemungkinan akan terus bertambah dalam bulan ini jika memperhitungkan kemajuan-kemajuan yang terjadi di beberapa negara.
Namun, yang sangat disayangkan oleh Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM ini, Pemerintah Indonesia menandatangani traktat ini pada bulan September 2017, akan tetapi hingga saat ini belum meratifikasinya. Padahal, di kawasan Asia Tenggara, sudah ada dua negara yang meratifikasi TPNW, yakni Thailand dan Vietnam. Dalam momentum peringatan 75 tahun Hiroshima dan Nagasaki, the Institute of International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada mendukung dan mendorong pemerintah Indonesia untuk meratifikasi sesegera mungkin “Kita mendorong pemerintah segera meratifikasinya,” tegasnya.
Menurutnya, apabila seluruh sepakat melakukan ratifikasi dan mengakui berlakunya traktat ini, merupakan langkah yang sangat penting dalam mencapai dunia tanpa senjata nuklir. Sebab, kini multilateralisme kian terancam dan banyak negara-negara pemilik senjata nuklir yang dipimpin oleh figur yang impulsif dan tidak bertanggung jawab. “Saya kira risiko besar penggunaan senjata nuklir baik yang disengaja maupun akibat kecelakaan meningkat secara signifikan,” ujarnya.
Untuk mempromosikan dukungan IIS terhadap TPNW ini dan memperingati peristiwa di Hiroshima dan Nagasaki 75 tahun yang lalu, IIS UGM menyelenggarakan rangkaian kegiatan dengan judul ’75 years too long: end nuclear weapons now!”. Kegiatan ini meliputi kampanye media sosial, pameran foto virtual, webinar publik, dan sebuah episode podcast. Kegiatan-kegiatan ini dimaksudkan untuk mengangkat diskusi publik tentang bahaya senjata nuklir dan perlunya mendorong pelarangan senjata nuklir.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : www.flickr.com/photos/icanw