Fakultas Farmasi UGM menyelenggarakan seminar daring bertema “Pharmacoeconomics and Health Technology Assestment in Health Decision Making” pada Kamis (6/8). Seminar diinisiasi oleh Pusat Kajian Farmakoekonomi dan Health Technology Assessment Farmasi UGM.
Pada seminar ini, Dr. apt. Dwi Endarti, M.Sc., Ketua Prodi Magister Manajemen Farmasi UGM, memaparkan bahwa studi farmakoekonomi merupakan salah studi yang terbilang baru di Indonesia. Studi ini dikembangkan dari ilmu ekonomi, tepatnya ekonomi kesehatan.
Menurut Dwi, studi ini mulai muncul pada era 1970-an di negara-negara barat, tetapi masih belum menggunakan istilah farmakoekonomi. Baru pada 1980-an, terminologi farmakoekonomi pertama kali digunakan, tepatnya pada tahun 1986 dalam pertemuan farmasis di Toronto, Kanada.
Hal itu berkembang pada tahun-tahun berikutnya, seperti berdirinya ISPOR pada 1995 dan diikuti beridirinya organisasi-oraganisasi lain setelahnya. Keberadaannya semakin terkukuhkan pada era 2000-an ketika hasil studi farmakoekonomi banyak diterapkan dalam pengambilan kebijakan kesehatan di beberapa negara.
Dwi menyebut negara mulai memperhatikan studi farmakoekonomi karena perannya yang mempermudah dalam menentukan kebijakan. “Pemanfaatan studi ini untuk pengambilan kebijakan awalnya dipicu oleh keterbatasan sumber daya pada pelayanan kesehatan. Kemudian semakin dibutuhkan ketika teknologi kesehatan baru bermunculan. Adanya population aging dan meningkatnya awareness individu untuk mendapat status kesehatan yang lebih baik juga menjadi pertimbangan pemerintah untuk memanfaatkan farmakoekonomi dalam menentukan kebijakan tentang pelayanan kesehatan,” terangnya.
Lebih lanjut Dwi menyebut permasalahan-permasalahan itupula yang membawa studi ini diadopsi di negara berkembang, seperti negara-negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Hal ini ditandai dengan beberapa negara yang menerapkan studi farmakoekomi sebagai salah satu komponen untuk memperoleh persetujuan obat baru. Kemudian, di universitas-universitas farmasi, farmakoekonomi juga mulai masuk sebagai kurikulum. Selain itu, perkembangan dari organisasi Health Technology Assessment (HTA) juga mendorong pengadopsian dari farmakoekonomi ini.
“Berdasarkan pengamatan saya di Indonesia sendiri, hingga tahun 2010, hanya terdapat 8 artikel akademik tentang farmakoekonomi yang terpublikasi. Namun, baru-baru ini saya cek kembali sudah terdapat 334 artikel yang membahasnya. Hal ini menunjukkan perkembangan tajam ketertarikan akan studi ini beserta manfaatnya,” ungkapnya.
Dwi menyatakan hal tersebut tidak bisa dipungkiri karena berkembangnya organisasi HTA di Indonesia, termasuk dibentuknya Komite Penilaian Teknologi Kesehatan Indonesia yang berada di bawah Kemenkes RI pada tahun 2014. “Dengan adanya organisasi HTA di Indonesia, maka farmakoekonomi memiliki kesempatan untuk berkembang lebih baik dan lebih luas. Tuntutan akan universal health coverage yang membutuhkan kendali mutu dan biaya, juga memberi kesempatan untuk studi ini berkembang. Pemerintah kini sudah menyediakan menyediakan beberapa guidline untuk studi farmakoekonomi, harapannya nanti akan ada standarisasinya,” ujarnya.
Sementara itu, sepakat dengan pemaparan Dwi tadi, Prof. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A(K), perwakilan dari Komite Penilaian Teknologi Kesehatan RI, menyatakan bahwa HTA cakupannya lebih luas jika dibanding Farmakoekonomi. Lebih tepatnya, ia menyebut farmakoekonomi termasuk ke dalam HTA. Hal itu karena HTA mencakup berbagai aspek dalam bidang kesehatan secara umum.
“Keberadaan HTA di Indonesia juga masih dalam tahap dini. Bahkan banyak dari profesional dari farmakoekonomi, seperti Dwi, turut berkontribusi dalam membangunnya. Jadi, sifatnya sekarang lebih ke mutualisme antara keduanya,” terangnya.
Terakhir, Prof. apt. Agung Endro Nugroho, M.Si., Dekan Fakultas Farmasi UGM, menyatakan fakultasnya juga sudah menggencarkan studi farmakoekonomi ini. Hal itu ditandai dengan pendirian Pusat Kajian Farmakoekonomi dan HTA di Fakultas Farmasi UGM pada tahun 2018.
“Sejak berdirinya pusat kajian tersebut, kami secara rutin selalu menyelenggarakan lokakarya terkait. Namun, karena tahun ini tidak bisa dilaksanakan secara tatap muka, akhirnya kami menggelar seminar ini. Harapannya melalui seminar ini masyarakat dan para peneliti yang tertarik dengan kajian farmakoekonomi sehingga nantinya studi ini akan semakin maju dan meluas kajiannya,” pungkasnya.
Selain Dwi, para pembicara lain juga hadir dalam seminar ini. Mereka adalah dr. Jarir At Thobrari, D.Pharm, Ph.D dan Dr.apt. Tri Murti Andayani, Sp.FRS (Farmasi UGM).
Penulis: Hakam